Ubur-ubur jadi berkah di pantai wisata Lampung

id Ubur-ubur, kapal nelayan, wisata laut, perahu menangkap ikan, destinasi wisata, Lampung, jelly fish

Ubur-ubur jadi berkah di pantai wisata Lampung

Ilustrasi Wisatawan berenang bersama Ubur-Ubur . (ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo)

Ratusan kapal nelayan yang biasa digunakan sebagai taksi, kendaraan wisata laut atau perahu menangkap ikan, dalam dua bulan terakhir dialihfungsikan untuk menangkap ubur-ubur (jelly fish) di sejumlah perairan pantai yang merupakan destinasi wisata unggulan di Provinsi Lampung.

Kehadiran ubur-ubur itu, setelah sebelumnya muncul puluhan ikan lumba-lumba di perairan Ringgung, menjadi "magnet" bagi pengunjung yang ingin melihat keindahan ubur-ubur berenang. Sementara bagi nelayan kehadiran ubur-ubur itu menjadi "berkah" di tengah merosotnya hasil tangkapan ikan.

Dulu ubur-ubur tidak bernilai ekonomi, namun kini justru berharga dan diminati pasar ekspor. Karenanya, ratusan nelayan selalu memburu ubur-ubur, mulai dari perairan Pantai Lempasing, Pantai Mutun, Ringgung, Ketapang hingga Pantai Kelapa Rapet Kabupaten Pesawaran.

Bagi pengunjung objek wisata pantai, mereka bisa menikmati keindahan ubur-ubur yang berenang hingga dekat bibir pantai, atau bisa juga menggunakan perahu untuk menikmati "tarian" ubur-ubur di perairan yang lebih dalam.

"Mudah-mudahan fenomena kehadiran ubur-ubur ini jangan cepat berlalu. Kalau bisa terus berlangsung," kata Margono, salah satu nelayan di Pantai Mutun Lampung.

Sejak Februari lalu ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menangkap ubur-ubur, bukan hanya pada siang hari, tetapi juga saat malam. Padahal sebelumnya ia kerap menyewakan perahunya bagi penggemar wisata memancing di sekitar perairan Mutun, Ringgung hingga perairan Legundi dan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Untuk mencapai perairan Kepulauan Legundi dan Gunung Anak Krakatau, butuh perjalanan sekitar 3-4 jam dari perairan Mutun dengan biaya sewa perahu berkisar Rp1,2 juta-Rp1,5 juta.

Ia juga kerap mengantar wisatawan ke Pulau Tangkil, salah satu objek wisata favorit karena lokasinya yang dekat dari Bandarlampung, atau mengantar para penggemar snorkeling ke perairan Pahawang.

Namun sejak kehadiran ubur-ubur, Margono memutuskan untuk menghabiskan waktunya menangkap biota laut yang berenang beberapa meter di bawah permukaan air laut.


Dua pekan lalu saat populasi ubur-ubur menjamur, ia dalam sehari semalam bisa mengantarkan ubur-ubur ke pengumpul di Ringgung sebanyak tiga rit. Dalam satu rit berisi sekitar 40 bakul atau 400 kg. Harga ubur-ubur per bakul (40 kg) mencapai Rp15.000- Rp17.000.

"Setelah dikurangi biaya bahan bakar dan biaya makan, bisa didapatkan sekitar Rp1,2 juta dalam sehari," katanya.

Karena itu, ia menyebutkan ratusan nelayan setempat beralih profesi menjadi penangkap ubur-ubur, karena lebih menguntungkan. Meski demikian, tidak semua nelayan mengetahui nilai ekonomi ubur-ubur itu, karena ada juga nelayan payang yang justru menganggap ubur-ubur sebagai sampah atau tak bernilai sehingga dibuang ke laut.

Nelayan payang menyebutkan badan akan gatal jika terkena ubur-ubur, dan mereka belum mengetahui manfaat dan penadahnya. Karena itu, ubur-ubur yang tersangkut di jaring payang umumnya dibuang.

Margono menyebutkan kehadiran ubur-ubur tahun lalu biasanya berlangsung sekitar dua minggu hingga sebulan, namun pada 2017 sudah berlangsung hampir dua bulan. Fenomena alam itu diperkirakan masih berlangsung hingga pekan mendatang.

Mengenai manfaat dan kegunaan ubur-ubur, para nelayan menyebutkan kurang mengetahuinya, meski ubur-ubur itu setelah diolah bisa dijadikan bahan kosmetik, bahkan dikonsumsi. Beberapa nelayan menyebutkan sudah pernah mengonsumsi ubur-ubur untuk sekedar mencoba rasanya saja.

Meski demikian, para nelayan lebih fokus menangkap ubur-ubur sebanyak-banyaknya untuk dijual, karena sudah ada pembeli musiman yang membangun gudang penampungan di kawasan Ringgung. Itulah sebabnya para nelayan tak khawatir dalam menangkap ubur-ubur, meski mereka berulangkali tersengat atau menderita gatal-gatal.

Para nelayan selalu sibur berputar-putar hingga dekat bibir pantai untuk mencari dan menangkap ubur-ubur saat berenang dekat permukaan air. Dengan menenteng senjata menyerupai "garpu raksasa", para nelayan dengan mata "tajam" mengawasi permukaan air laut. Begitu ada ubur-ubur yang berenang sekitar 1-2 meter dari permukaan air, garpu raksasa itu langsung ditancapkan ke tubuh ubur-ubur, kemudian diangkat cepat ke dalam kapal.

Satu ekor ubur-ubur bisa mencapai bobot 5-7 kg, sehingga dalam satu perahu dibutuhkan dua sampai tiga orang untuk sekali melaut. Setelah perahu "nyaris tenggelam" karena kepenuhan ubur-ubur, perahu nelayan tersebut selanjutnya berlayar menuju tempat penampung di kawasan Ringgung.

Setelah kapal bersandar di pantai Ringgung, para buruh membongkar muatan kapal tersebut dengan upah Rp3.000 per bakul. Meski demikian, para nelayan tidak keberatan untuk saling bagi rezeki yang diberikan laut kepada mereka.

Di objek wisata

Kehadiran ubur-ubur di objek wisata pantai sebenarnya bisa "dijual" kepada para wisatawan yang menikmati keindahan saat biota laut itu berenang di perairan yang jernih. Namun, sejauh ini fenomena merebaknya ubur-ubur itu belum "dijual" pengelola wisata kepada para wisatawan, sehingga banyak perahu wisata yang justru dialihkan penggunannya oleh pemilik untuk menangkap ubur-ubur.

Pada akhir Januari lalu, puluhan ekor lumba-lumba muncul di Perairan Ringgung, padahal kejadian seperti itu tidak pernah terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Karenanya, kehadiran ikan lumba-lumba itu menjadi daya tarik bagi para nelayan dan turis pencinta wisata bahari.

"Saya sudah puluhan tahun tinggal di kawasan ini dengan mengusahakan wisata pancing dan taksi pulau yang selalu melintasi perairan Ringgung, namun belum pernah sebelumnya melihat kehadiran ikan lumba-lumba di perairan Ringgung ini," kata Margono.

Kehadiran lumba-lumba itu ternyata berdampak baik pada para nelayan, karena sejumlah pengunjung menyewa perahu untuk mengelilingi kawasan Ringgung, seperti Pulau Tegal, dengan harapan bisa melihat kehadiran ikan lumba-lumba. Meski dijelaskan bahwa kehadiran ikan lumba-lumba itu hanya sesaat karena berada di lintasan kapal-kapal nelayan, namun perahu nelayan tetap disewa untuk sekedar memenuhi rasa ingin tahun mereka.

Dengan demikian, ubur-ubur bisa dijual kepada wisatawan, dan bukan hanya sekedar diburu untuk dijual kepada penampung, meski fenomena kehadiran ubur-ubur bukan hanya terjadi di Lampung saja, tetapi juga di wilayah Indonesia lainnya, seperti di pantai pesisir selatan Jawa.

Umumnya ubur-ubur diekspor seperti ke China, Jepang, Korea dan Taiwan setelah melalui proses pengolahan dan pengeringan. Ubur-ubur olahan itu bisa digunakan bukan hanya untuk bahan kosmetik dan makanan saja, tetapi juga untuk obat-obatan.

Salah satu warga pesisir Teluk Lampung, Kanafi, juga menyebutkan pengalamannya yang mengonsumsi ubur-ubur hasil olahan.

"Saya pernah mengonsumsi ubur-ubur yang sudah diolah, dan rasanya cukup enak meski agak kenyal. Kalau ubur-ubur segar, saya belum pernah mengolahnya langsung untuk dikonsumsi," katanya.

Sementara Margono menyebutkan dirinya sudah mencoba memasak ubur-ubur hasil tangkapannya, dan rasanya "asin" atau kurang gurih.

Pengolahan ubur-ubur di Ringgung dimulai dengan membersihkan bagian mulut dan kaki, kemudian isi perut dipisahkan dari badan. Selanjutnya olahan tersebut dicuci bersih dalam larutan garam, dan dikeringkan.

Fenomena kehadiran ubur-ubur diperkirakan segera berakhir, dan para nelayan akan segera kembali beraktivitas sebagai penangkap ikan, pemandu wisata mancing atau sebagai "sopir" taksi laut untuk mengantar para wisatawan ke tempat snorkeling atau berkeliling pulau, terutama di objek wisata bahari terkenal di Lampung seperti pantai Mutun, Ringgung, Pasir Putih, Klara dan Pahawang.

Meski kehadiran ubur-ubur itu menguntungkan, namun pengawasan dan pemeriksaan dokumen ekspornya perlu dilaksanakan lebih ketat untuk mencegah terjadinya penangkapan berlebihan atas ubur-ubur di perairan objek wisata pantai Lampung. Tindakan tegas atas ekspor ubur-ubur sebenarnya sudah dilakukan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Bandarlampung pada 2015 dengan menyita "salted jelly fish"` atau ubur-ubur olahan sebanyak 2.100 drum atau seberat 44.100 kilogram. Penyitaan dilakukan karena ekspor komoditas tersebut tidak dilengkapi sertifikat Hazard Analysis Control dan Critical Point (HACCP) dan Health Certificate (HC).

Ubur-ubur memang "berkah" bagi banyak orang, terutama bagi nelayan, pengumpul dan eksportir, namun penangkapan atas binatang yang badannya mirip pinggan atau cawan berjumbai-jumbai itu perlu juga dibatasi agar tak berlebihan eksploitasinya, meski volume permintaan atas komoditas ubur-ubur Lampung cenderung meningkat setiap tahunnya.