San Francisco (ANTARA Sumsel) - Satu studi oleh para peneliti dari beberapa lembaga AS menyatakan perubahan iklim mungkin merupakan kekuatan yang paling menghancurkan bagi katak tropis.
Meskipun perubahan iklim dan penggunaan lahan diperkirakan mengurangi daerah yang bisa ditinggali buat katak tropis, para peneliti tersebut telah mendapati penurunan area habitat panas yang cocok buat katak bisa 4,5 kali lebih besar dibandingkan dengan penurunan akibat perubahan lapisan tanah, seperti perubahan hutan menjadi pertanian.
Seperti manusia, katak mengandalkan sumber daya luar untuk mengatur temperatur tubuh mereka, sehingga habitat tempat katak tak bisa mempertahankan temperatur tubuh mereka di bawah batas temperatur minimum tak mungkin mendukung populasi katak, kata Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Senin pagi. Pada saat yang sama, spesies itu akan makin berhadapan dengan temperatur yang cukup panas untuk menghangatkan prilaku, reproduksi dan psikologi mereka.
Untuk studi tersebut, yang disiarkan dalam terbitan terkini jurnal Conservation Biology, mahasiswa Strata 3 David Kurz dari University of California, Berkeley, mengunjungi Costa Rica di Amerika Tengah. Ia melakukan penelitian katak di tiga jenis lapisan tanah: susunan hutan, jantung tanaman palem dan padang rumput.
Setelah 400 penelitian, Kurz dan penulis utama studi itu Justin Nowakowski, peneliti pasca-doktoral di University of California, Davis, mengidentifikasi spesies katak terbatas pada hutan serta spesies yang bisa bertahan hidup di daerah pertanian.
Berdasarkan data lapangan dan keterangan mengenai toleransi panas katak, kedua peneliti tersebut dan rekan mereka dari John Carroll University, Zoo Miami dan Florida International University membuat model perubahan landskap panas katak untuk memastikan seberapa banyak daerah habitat yang cocok akan tetap ada 80 tahun ke depan buat katak dengan toleransi panas yang berbeda berdasarkan keragaman skenario iklim dan pemanfaatan lahan.
"Data lapangan kami dan model selanjutnya memperlihatkan katak yang lebih bisa menghadapi peningkatan temperatur memiliki peluang lebih besar untuk bertahan hidup di dunia yang berubah dengan cepat," kata Kurz sebagaimana dikutip siaran pers UC Berkeley.
Namun, para peneliti itu mendapati spesies katak yang hidup secara eksklusif di hutan adalah yang paling sensitif terhadap temperatur tinggi yang berasal dari gabungan perubahan iklim dan perubahan fungsi hutan.
Berita Terkait
BKIPM Palembang catat ekspor paha kodok beku Rp53,2 miliar
Jumat, 23 Desember 2022 22:07 Wib
Gara-gara simbol Nazi, Volkswagen "ceraikan" diler Meksiko
Kamis, 10 September 2020 10:55 Wib
VW ubah logo, bakal muncul pertama di Atlas Cross Sport
Sabtu, 11 April 2020 7:32 Wib
Modus cari kodok, Seorang gadis dicabuli empat pria
Jumat, 20 Maret 2020 16:09 Wib
Kemesraan Kiai Ma'ruf dan isteri di Tanjung Kodok
Kamis, 11 April 2019 14:12 Wib
VW "kodok" Beetle berhenti diproduksi tahun depan
Jumat, 14 September 2018 10:51 Wib
10 persen katak kalimantan terancam punah
Jumat, 31 Maret 2017 13:18 Wib