Nelayan berjuang mencari keadilan

id nelayan, sidang, kapal, ditangkap

Nelayan berjuang mencari keadilan

Sejumlah pelaku ilegal Fishing digelar bersama sejumlah alat bukti di Markas Polair Polda Sumsel Palembang, Senin (11/2) Sebanyak 13 kapal nelayan lokal ditangkap Polair Polda Sumsel di Perairan Sungai Lumpur Ogan Komering Ilir (OKI) karena menggunak

Palembang (ANTARA Sumsel) - Tidak ada kata menyerah untuk mendapatkan keadilan bagi 13 nelayan asal Brebes, Jawa Tengah, meski upaya bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan.

Ke-13 nelayan yang divonis bersalah atas perbuatan melanggar batas wilayah penangkapan ikan dan penggunaan alat tangkap jala jenis pukat harimau kini menempuh upaya kasasi ke Mahkamah Agung.

Para nelayan ini berkeyakinan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan yang tertuang dalam Surat Putusan Nomor 65/PID.SUS.LH/2016/PT/PLG pada tanggal 10 Mei 2016, atau menguatkan putusan pengadilan di tingkat pertama berupa hukuman 1 tahun 8 bulan penjara, denda Rp2 miliar subsider 2 bulan itu tidak adil bagi mereka.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Brebes Rudi Hartono, yang selama ini mendampingi nelayan, mengatakan bahwa para nelayan sangat kecewa dengan putusan PT Sumsel itu dan akan terus berjuang untuk mendapatkan keadilan.

"Sejak awal HNSI Brebes sangat menyesalkan peristiwa ini karena pelanggaran hukum yang dikenakan kepada nelayan sebenarnya belum sepenuhnya final," kata dia.

Menurut Rudi Permen Nomor 2 Tahun 2015 soal Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat dan Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seinen Nets) itu masih belum sepenuhnya diimplementasikan mengingat kebijakan transisi hingga akhir tahun 2016.

"Kapal-kapal tersebut menggunakan alat tangkap yang masih dalam batas toleransi," kata Rudi.

Terkait dengan pelanggaran batas wilayah, Rudi menjelaskan bahwa tidak dapat sepenuhnya didakwakan ke-13 nelayan ini karena berlabuhnya Kapal Hasil Laut I ke perairan Banyuasin pada tanggal 4 Februari 2014 dilatari karena menghindari cuaca buruk di perairan Jawa.

Kapal Hasil Laut I ketika hendak berlayar kembali dicegat kapal Polair Banyuasin untuk pemeriksaan dokumen.

"Karena dokumen tidak sesuai dengan batas wilayah penangkapan ikan, petugas pun meminta awak kapal menunjukkan kapal-kapal lain yang berada di tengah laut, akhirnya diamankan 12 kapal lainnya," katanya.

Tertangkapnya ratusan nelayan yang mayoritas berasal dari Desa Kluwut Kecamatan Bulakamba, Brebes ini membuat keluarga shock karena mereka tumpuan tulang punggung keluarga.

"Anak-anak harus bayar sekolah, sementara sudah hampir 4 bulan tidak ada pemasukan begini membuat terpaksa berutang kepada keluarga dan tetangga," ujar istri salah seorang nelayan yang tertangkap Ginda Purnama (40).

Syahzada Arsa, 11 tahun, siswa kelas VI SD Negeri 5 Sawojajar, Kecamatan Wanasari, Jawa Tengah, putri dari Makmur (39 tahun) juga sangat sedih atas peristiwa tersebut.

Arsa pun telah melayangkan surat kepada Presiden RI Joko Widodo, tepatnya seusai mengikuti ujian nasional dengan pergi ke Kantor Pos Brebes.

"Kenapa ayah saya ditangkap, ayah `kan cari ikan di laut," kata anak berusia 11 tahun ini.

Demikian pula, Ajeng Silmi, anak nelayan lainnya Ginda Purnama (40), yang mengungkapkan kerinduannya kepada sang ayah.

"Sudah hampir 5 bulan tidak bertemu dengan ayah. Sekarang kami tidak punya uang lagi," kata Ajeng.


Langgar Batas

Sebanyak 13 kapal nelayan asal Brebes Jawa Tengah dan Banten Jawa Barat diamankan oleh Direktorat Polisi Perairan Polda Sumatera Selatan pada tanggal 4 Februari 2016 saat patroli di Tanjung Menjangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Kapal-kapal yang diamankan petugas itu, antara lain, KM Sumber Putra, KM Sutanto Jaya, KM Ridho Tani, KM Megatama Putra, KM Restu Jaya, KM Hasil Laut I, KM Putra Mandiri, KM Nok Lufti, KM Sri Sukma Jati Mekar, KM Putri Tunggal, KM Ama, KM Dedy Sanjaya, dan KM Waweh 4.

Ke-13 kapal itu dioperasikan nelayan itu oleh 202 awak kapal, 13 nakhoda, dan 189 lainnya adalah anak buah kapal.

Saat itu, kapal nelayan tersebut sedang menangkap ikan karena ada barang bukti berupa jaring dan sejumlah hasil tangkapan.

Pengawas Perikanan Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Selatan Suhaimin, Kamis (11/2), menjelaskan bahwa hasil penelitian dari dokumen yang dibawa, nelayan ini telah melanggar batas wilayah tangkapan karena berdasarkan dokumen seharusnya beroperasi di kawasan utara Laut Jawa.

Selain itu, alat tangkap yang digunakan juga ilegal, para nelayan juga menggunakan alat tangkap jenis cantrang yang telah dimodifikasi menjadi "trawl".

Jala jenis ini dapat membahayakan ekosistem dasar laut karena jala jenis ini akan menjaring ikan-ikan kecil hingga di dasar laut.

"Jika ikan kecil juga ditangkap, tentu akan membahayakan kelanjutan ikan itu sendiri," katanya.

Suhaimin menyebutkan dari barang bukti yang ada, nelayan menggunakan jaring dengan mata net sebesar 3/4 inci atau lebih kecil dibandingkan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per. 30/Men/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang menetapkan mata net jaring minimal 2 inci.

Belum lagi, jala juga dilengkapi dengan alat pemberat dan juga alat penarik dengan mesin yang juga tidak diperbolehkan.

Pelanggaran tersebut terlihat dari hasil tangkapannya, bahkan ikan yang hidup di dasar laut dan tinggal di terumbu karang pun tertangkap.

Awalnya jaring yang digunakan adalah jenis cantrang yang dimodifikasi menjadi "trawl".

"Ada kemungkinan jala ini lolos dari pemeriksaan petugas Syahbandar di daerah asalnya," kata Suhaimin.

Tasroni (42), nelayan, mengatakan bahwa pihaknya tidak bermaksud untuk menangkap ikan di wilayah tersebut.

Mereka berlabuh di kawasan Tanjung Menjangan untuk menghindari gelombang tinggi.

"Kami berhenti 30 mil dari daratan karena memang kami ingin berlindung dari gelombang tinggi," ungkapnya.

Tasroni mengatakan bahwa saat angin barat menerjang, Pulau Jawa tidak dapat melindungi nelayan dari ancaman gelombang tinggi. Kondisi ini berbeda dengan Pulau Sumatra yang secara topografi membentang dari utara ke selatan.

Tasroni yang berasal dari Desa Klawut, Bulakamba, Brebes ini berharap dirinya dan teman-temannya dapat dilepaskan dari jeratan hukum, Jika mereka ditahan, akan berpengaruh pada kondisi keluarganya.

"Kami adalah tulang punggung keluarga. Jika kami ditahan, keluarga kami makan apa?" katanya.

Salah seorang nelayan yang disidangkan, Rabu (13/4), adalah Kasiran (42). Dalam persidangan, telah terbukti menggunakan alat penangkap ikan yang menggangu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Kasiran didakwa telah melanggar Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU No. 31/2004 tentang Perikanan.

Kasiran dijatuhi vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang 1 tahun 8 bulan atau lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni kurungan penjara selama 2 tahun 6 bulan dan denda Rp2 miliar subsider 6 bulan kurungan dikurangi masa tahanan.

Dalam persidangan yang diketuai oleh Mion Ginting, Kasiran menerima vonis lebih ringan karena dianggap telah menyesali perbuatannya dan tidak pernah tersandung kasus hukum.

Nakhoda Rukijan mengaku selama menepi ke wilayah perairan Sumsel, mereka tak melakukan aktivitas penangkapan ikan.

"Apa yang mereka lakukan saat itu hanya menghindari ombak laut yang saat itu mencapai 4 meter," kata Rukijan ketika memberikan pembelaan di persidangan beberapa waktu lalu.

Majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama menyatakan sebanyak 13 nelayan tersebut secara sah dan meyakinkan telah melanggar Pasal 85 UU No. 45/2009 tentang Perubahan atas UU No. 31/2004.

Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan kemudian menolak banding yang diajukan 13 nelayan asal Brebes ini berdasarkan salinan Surat Putusan Nomor 65/PID.SUS.LH/2016/PT/PLG pada tanggal 10 Mei 2016.

Kini, nasib 13 nelayan itu berada di ujung tanduk.