Mereka yang tak lagi "berlebaran" saat pilkada

id pilkada, pilkada mellaui dprd, banyak kehilangan usaha, pendapatan, tak dapat raup keuntungan lagi, pilkada, kampanye terbuka

Mereka yang tak lagi  "berlebaran" saat pilkada

Ilustrasi - Suasana ratusan warga melipat surat suara Pilkada Gubernur Sumatera Selatan di Kantor KPU Palembang, tidak akan dijumpai lagi dengan disetujuinya UU Pilkada melalui DPRD. (Foto Antarasumsel.com/13/Feny Selly/Aw)

...Kemarin pada saat kampanye terbuka Pilpres, Soneta Grup tampil 21 kali selama sebulan, tentunya ini tidak akan terjadi lagi bila tidak ada kampanye terbuka...

(ANTARA Sumsel) - Dering telepon genggam Zakariyah setiap beberapa menit selalu berbunyi, namun tak setiap deringan diangkat dan diterima satu per satu karena urusannya cukup banyak.

Pesan singkat di dalam "inboknya" pun cukup banyak yang belum terbaca, karena dia mengakui untuk membuka pesan memerlukan sedikit waktu luang, sedangkan dirinya mengaku tak punya waktu untuk itu.

Hal itu karena dia harus bolak-balik mengantar aksesoris partai yang dipesan simpatisan salah satu pasangan calon gubernur Jawa Timur untuk kampanye terbuka.

Kesibukan lelaki yang kini berusia 41 tahun itu terjadi pada Agustus 2013, yakni saat adanya kampanye terbuka pelaksanaan Pilkada Jatim yang dilakukan secara langsung.

Saat itu, bapak empat anak ini mendapat ratusan pesanan aksesoris partai untuk dipakai pada kampanye terbuka dalam "pesta demokrasi" Pilkada Jatim 2013.

Hingga pundi-pundi ratusan juta rupiah pun dia genggam hanya dalam beberapa pekan masa kerja, dan lelaki yang tinggal di kawasan Petemon Surabaya ini mencatat keuntungan bersih yang dia peroleh saat itu lebih dari Rp250 juta.

Selang beberapa bulan kemudian, daerah lain juga menggelar pelaksanaan Pilkada langsung dengan kampanye terbukanya, dan ia pun kembali mendapat pesanan aksesoris, sehingga keuntungannya bertambah banyak.

"Untuk Pilkada Blitar saya mencatat keuntungan sekitar Rp150 juta, Pilkada Surabaya hanya mencatat sekitar Rp50 juta, ditambah dengan pemilihan legislatif kemarin yang mencapai Rp120 juta," tuturnya, riang.

Kini, dengan adanya keputusan pelaksanaan Pilkada kembali ke DPRD dan tak ada kampanye terbuka yang digelar, lelaki yang mempunyai usaha dengan nama "Zaka Grafik" itu tak mungkin bisa mengulang masa itu, masa ratusan juta rupiah mengalir bak air terjun ke tangannya hanya dalam beberapa pekan kerja.

"Memang tidak setiap tahun ada kampanye terbuka, tapi yang jelas pada saat event besar seperti Pilkada, kita dan beberapa pengusaha percetakan lainnya sering menjadikannya sebagai "lebaran" karena keuntungannya yang cukup besar," ucap Zakariyah.

Sebagai masyarakat biasa, ia mengaku tidak mengetahui apa pun terkait peta perpolitikan negeri ini, namun yang pasti adanya pagelaran kampanye terbuka membawa keuntungan besar, meski tidak setiap tahun.

Penyebabnya, pesanan aksesoris partai berupa kaos, payung, spanduk dan sebagainya terjadi peningkatan hingga lebih dari 300 persen dari hari normal.

"Kalau tidak ada kampanye terbuka lagi otomatis hanya mengandalkan pesanan rutin dari pelanggan, dan pemasukan rutin itu tidak sampai ratusan juta rupiah seperti saat Pilkada," katanya.

"Job" Artis

Lain aksesoris, lain pula artis. Ketua Bidang Kominfo Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Artis Musik Melayu-Dangdut Indonesia (DPP PAMMI), Surya Aka, mengakui masa kampanye terbuka adalah masa para artis dangdut mendapatkan "job" atau jadwal manggung yang padat.

Hal itu karena mayoritas kampanye terbuka selalu mengundang orkes melayu (OM) yang menghadirkan penyanyi dangdut dari beberapa daerah dan ibu kota.

Penggemar berat "Raja Dangdut" Rhoma Irama ini mengaku meski secara langsung sejumlah artis tidak menjadikan kampanye terbuka sebagai satu-satunya pemasukan utama, namun setidaknya dengan adanya kampanye terbuka jadwal manggung meningkat tajam dibandingkan dengan hari biasa.

"Memang tampil di acara kampanye terbuka saat pelaksanaan Pilkada bukanlah satu-satunya pemasukan para artis, namun setidaknya ada peningkatan jadwal manggung lebih banyak," kata Aka yang ditemui di Sekretariat PAMMI Jakarta Selatan (26/9).

Berdasarkan catatannya selama mengikuti konser Soneta Grup tampil di acara kampanye terbuka, ada 21 kali jadwal manggung dalam sebulan berkeliling se-Indonesia.

"Kemarin pada saat kampanye terbuka Pilpres, Soneta Grup tampil 21 kali selama sebulan, tentunya ini tidak akan terjadi lagi bila tidak ada kampanye terbuka," katanya.

Belum lagi kampanye terbuka pada pelaksanaan Pilgub di beberapa daerah seperti Sumatera Selatan, Kalimantan, Lampung, Riau serta Jambi.

Namun, apabila sudah menjadi keputusan DPR untuk mengembalikan Pilkada kepada legislatif, maka pihaknya sebagai artis dan insan dangdut wajib menaati.

"Apakah dengan tiadanya Pilkada langsung pergelaran dangdut menurun, mungkin hal itu ada," katanya.

Ia mengaku setiap artis dangdut tidak hanya tampil pada pelaksanaan kampanye terbuka, sebab masih banyak event lain seperti acara ulang tahun kabupaten/kota, pernikahan, pameran pembangunan, serta event tahunan lainnya.

Baginya, masih banyak peluang lain seperti di televisi lokal dan rekaman, serta yang terpenting adalah insan dangdut harus kreatif, inovatif, terus meningkatkan performa, suara dan penampilan.

Kelebihan dan Kekurangan

Sebelum pelaksanaan Pilkada kembali ke DPRD diputuskan melalui mekanisme voting pada rapat paripurna DPR-RI Jumat (26/9) dini hari, banyak pro, kontra dan penilaian dari sejumlah pengamat atau politisi.

Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, di Jakarta, mengatakan bagi kepala daerah yang menolak pilkada melalui DPRD adalah mereka yang ingin melakukan reformasi dan terobosan positif untuk daerahnya.

Namun, tidak semua kepala daerah yang dipilih secara langsung berkualitas, karena hingga saat ini masih ada kepala daerah yang terjerat tindak pidana korupsi.

Pengamat politik "Indonesian Public Institute" (IPI) Karyono Wibowo mengatakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD maupun secara langsung sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Ia menyebutkan pemilihan kepala daerah melalui DPRD bisa jadi cermin dari demokrasi perwakilan, sedangkan pemilihan secara langsung mencerminkan demokrasi partisipatif.

"Berdasarkan konstitusi UUD 1945 sistem pemilihan kepala daerah memang tidak disebutkan secara eksplisit apakah harus dipilih secara langsung atau melalui DPRD," katanya.

Menurutnya, adanya pilkada langsung yang diawali tahun 2005 dikarenakan saat itu DPRD dianggap sudah tidak sesuai dengan tuntutan demokrasi, sehingga pemilihan langsung menjadi pilihan demokrasi, agar berjalan sesuai dengan harapan rakyat.

Namun pada perjalanannya, biaya politik dinilai terlalu tinggi sehingga diduga menjadi salah satu penyebab tumbuhnya korupsi.

Meski demikan, Karyono juga tidak menjamin apabila pemilihan kepala daerah dilakukan DPRD tidak ada korupsi dan politik uang, sebab bisa juga terjadi kongkalikong dan jual beli suara di DPRD.

"Apabila saat ini partai politik dipandang sudah sehat, maka pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa dilakukan dan akan lebih diterima oleh rakyat," katanya.

Sementara itu, Direktur Institut Madani Nusantara Prof Nanat Fatah Natsir mengatakan pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan lebih mudah diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bila terjadi korupsi dan suap, bahkan PPATK pun mudah menelusuri aliran dananya.

"Dengan adanya pemilihan di DPRD akan lebih mudah diawasi bila ada korupsi atau suap, dan KPK akan lebih mudah mengawasi anggota DPRD yang berjumlah 50 orang hingga 100 orang daripada bila kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat," kata Natsir beberapa waktu lalu.

Buktinya, hasil pemilihan langsung mencatat adanya 300 lebih kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijatuhi hukuman.

Sebaliknya, pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih menghemat biaya negara daripada pemilihan langsung yang menghabiskan anggaran Rp20 miliar hingga Rp30 miliar, demikian catatan Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).