Lombok Tengah (ANTARA Sumsel)- Di tengah suasana dingin yang menusuk tulang disertai kabut tipis setelah semalaman turun hujan, tak mengurungkan niat ribuan warga untuk terjun ke permukaan air laut di kawasan pesisir Pantai Seger, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dengan membawa serok atau sejenis jaring ikan yang terbuat dari anyaman benang nilon berbingkai bambu, warga berbasah-basah menerjuni perairan laut yang pada Kamis (20/1) dini hari sekitar pukul 03.00 Wita itu permukaannya sedang surut.
Kegairahan, keriangan dan semangat yang membara untuk dapat menjaring nyale (Anelida polycaetae) di tengah keremangan cahaya sehubungan mentari masih terlelap tidur, tampak dari sorot mata serta sorak sorai yang meluncur dari bibir-bibir jubelan warga.
Anehnya, pekik sorak dan celoteh yang diucapkan para pemburu nyale, yakni sejenis cacing laut, umumnya berupa kata-kata "kotor" yang ada hubungannya dengan perkara asmara atau bahkan terkait seksual.
Menurut beberapa warga, nyale yang kemunculannya setahun sekali berdasarkan nenanggalan Suku Sasak, tidak serta merta mau menampaknya diri tanpa terlebih dahulu dilakukan ritual yang kemudian diikuti dengan pengucapan kata-kata "kotor".
Maka tak pelak jika dini hari itu kawasan Pantai Seger bergema aneka celoteh yang umumnya bernada "porno" dalam bahasa daerah Sasak, yakni salah satu etnis yang menetap di wilayah NTB.
Ternyata benar, begitu kata-kata "kotor" ramai diucapkan tua, muda, lelaki dan perempuan, air laut yang semula tampak tenang dan bening, tiba-tiba berubah kotor bagai bercampur lumpur. Bersamaan dengan itu, ribuan bahkan mungkin jutaan nyale, yakni cacing yang umumnya berwarga merah dengan garis-garis biru dan kehijau-hijauan, muncul ke permukaan air laut.
Melihat yang ditunggu-tunggu telah muncul, ribuan warga dengan serok di tangan, mulai berebut untuk dapat menjaring nyale sebanyak-banyaknya.
Lalu Moch Asri, tokoh masyarakat Lombok Tengah mengatakan, nyale selain enak untuk lauk setelah diolah berupa pepes, juga dipercaya sebagai "obat kuat" atau bahkan membawa keberuntungan. Semakin banyak mendapat nyale, masyarakat percaya akan semakin banyak pula memperoleh keberuntungan di kemudian hari.
Itu sebabnya, lanjut dia, masyarakat dari berbagai pelosok di NTB ramai-ramai begadang sejak semalam sebelumnya guna menunggu dini hari yang dinanti-nanti.
Atraksi budaya
Kemunculan nyale sejak beberapa tahun belakangan, mulai dikemas oleh pemerintah setempat menjadi atraksi budaya guna lebih memikat kehadiran wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Perhelatan yang diberi tajuk Festival Bau Nyale tersebut, sejak dua hari sebelumnya sudah diisi dengan aneka lomba, pertunjukan kesenian dan farade budaya. Bau Nyale dalam bahasa daerah Sasak artinya menangkap nyale.
Khusus untuk farade budaya yang menampilkan aneka kesenian berupa tarian, tetabuhan lengkap dengan berbusana khas Sasak yang digelar pada Rabu (19/2) petang, tampak dihadiri dan disaksikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C Sutardjo, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Saini, didampingi Bupati Lombok Tengah HM Suhaili FT dan para pejabat setempat.
Sayangnya, untaian farade sepanjang lebih dari 800 meter dengan menempuh jarak sekitar 2,5 kilometer itu, tampak diguyur hujan lebat disertai angin kencang. Akibat kejadian tersebut, sebagian tenda yang dibangun dengan beratapkan terpal dan lembaran plastik, terbang setelah disapu hembusan sang bayu.
Bersamaan dengan itu, para undangan dan penonton yang semula berlindung di bawah tenda, akhirnya lari tunggang-langgang menyelamatkan diri dan mencari tempat lain untuk berteduh.
Tidak hanya itu, sejumlah peserta parade budaya yang telah menempuh rute cukup jauh, memilih untuk mengundurkan diri di tengah perjalanan. Kondisi semakin buruk terjadi ketika seorang remaja yang tergabung dalam kelompok Putri Mandalika, mendadak jatuh pingsan hingga harus dibopong ke luar barisan.
Sebagian besar peserta parade budaya merupakan utusan dari sejumlah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Daerah lain yang turut berpartisipasi tercatat Jawa Barat dan Sumatera.
Memburu nyale yang adalah tradisi turun-temurun sejak ratusan tahun silam, di NTB tidak hanya diselenggarakan di Pantai Seger, tetapi juga Pantai Kaliantan, Desa Serewe, Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
Menurut kepercayaan masyarakat Suku Sasak, cacing laut itu merupakan penjelmaan Putri Mandalika dari sebuah Kerajaan Tonjang Beru, yang begitu mencintai rakyatnya, namun sang putri memilih untuk bunuh diri terjun ke laut.
Langkah itu diambil Putri Mandalika untuk menghindari meletusnya peperangan, karena saat itu dirinya tengah diperebutkan oleh beberapa pangeran yang ingin menyuntingnya.
Putri Mandalika khawatir, jika memilih salah satu di antara pangeran itu, maka peperangan akan terjadi, di mana rakyat tidak berdosa akan menjadi korban. Menghadapi ini, Putri Mandalika sengaja menceburkan diri ke laut, sehingga rakyat terhindar dari bahaya peperangan.
Gelar tenda
Setiap perayaan Bau Nyale, segenap penduduk NTB, terlebih yang tinggal di Pulau Lombok, berduyun-duyun ke tepi pantai, menunggu dengan perasaan gembira akan hadirnya cacing laut itu.
Bahkan, wisatawan domestik dan mancanegara, tidak sedikit yang tampak turut larut dalam kemeriahan tradisi itu, dan sengaja menggelar tenda di tepi pantai untuk menunggu dini hari, tepat ketika cacing 'Putri Mandalika' datang kepada rakyatnya.
Selain mendirikan tenda untuk bermalam, banyak di antara mereka yang ambil bagian dalam berjingkrak-jingkrak di hadapan para penyanyi dangdut bahkan beberapa artis ibu kota seperti grup band Kotak, yang unjuk kebolehan di panggung pertunjukan yang digelar semalam suntuk.
Abdul Majid Sidik, warga Sekotong, Lombok Barat, menyatakan setiap tahun dirinya selalu turut menyaksikan kemeriahan perayaan tradisi "Bau Nyale" di Pantai Seger. "Tradisi menangkap nyale sangat menarik, apalagi ketika melihat warga yang mempercayai bahwa nyale merupakan penjelmaan Putri Mandalika, hingga mereka beramai-ramai menyambutnya," ujar Abdul.
Menurut dia, tradisi menangkap nyale kali ini lebih tertib dan tidak terjadi kemacetan arus lalu lintas yang apanjang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
"Pemerintah kabupaten sudah mempersiapkan kegiatan dengan maksimal, sehingga tidak terjadi penumpukan pengunjung. Panggung hiburan juga letaknya dipindahkan ke tempat yang lebih luas, jadi warga tidak berjubel lagi," ujarnya.
Dia melanjutkan, meski kawasan Pantai Seger semalam diguyur hujan deras dan jalanan menjadi berlumpur, namun tidak mengurangi antusiasme warga untuk turut memeriahkan Fertival Bau Nyale.
Bahkan, kata Abdul, bukan hanya penduduk lokal yang berminat melihat kemunculan nyale di Pantai Seger, namun puluhan wisatawan dari daerah lain dan asing juga tampak tidak kalah bersemangat.
"Sejak hari masih gelap, wisatawan asing sudah ikut masuk ke laut untuk berebut nyale. Semoga Festival Bau Nyale tetap bisa menjadi tradisi lokal yang mendunia," ujar dia, berharap.
Terlepas dari itu, baik Abdul maupun sejumlah pengunjung yang lain, menyayangkan masih adanya gangguan aksi kriminal yang mengurangi kemulusan jalannya festival. Aksi tersebut tidak hanya berupa pencopeten dan pencurian kendaraan bermotor yang terparkir di lokasi, namun juga "perampasan" aneka umbul-umbul, spanduk dan pernik-pernik hiasan yang dipajang di pinggir-pinggir jalan menuju lokasi kegiatan.
Spanduk dan unbul-umbul yang diumumnya terbuat dari lembaran kain milik para sponsor kegiatan, sebagian besar habis disikat tangan-tangan jahil. Begitu juga dengan pernik-pernik, hiasan balon dan aneka pot bunga yang terpajang, turut raib dari tempatnya semula.
Perwira polisi yang ditemui di tempat kegiatan, mengaku cukup kewalahan untuk dapat mengawasi dan mengamankan semuanya, sehubungan jumlah pengunjung yang begitu membludak dibandingkan dengan anggota pengamanan yang dikerahkan ke lapangan.
Sejumlah pengunjung berharap, kejadian serupa tidak terulang kembali pada kegiatan yang sama di tahun-tahun mendatang, mengingat festival tahunan ini belakangan sudah mulai banyak dilirik para wisawatan mancanegara.