Padahal, rokok elektronik merupakan produk alternatif yang memiliki profil risiko lebih rendah dibandingkan dengan rokok. Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai studi ilmiah.
"Jika dilihat dari perspektif konsumen dan pengurangan bahaya, penerapan aturan kemasan polos tanpa pembedaan antara rokok elektronik dan rokok bisa dianggap tidak memberikan kesempatan yang adil bagi perokok dewasa untuk mengakses produk yang lebih rendah risiko," kata Paido Siahaan.
Sekretaris Aliansi Vaper Indonesia (AVI) Wiratna Eko Indra Putra menjelaskan mengacu Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pemerintah sudah menjamin hak masyarakat dalam aspek keamanan dan informasi yang jelas terhadap barang yang dikonsumsinya.
Berdasarkan acuan tersebut, lanjutnya, pelaku usaha diminta untuk memasang label yang memuat, antara lain, nama barang, ukuran, berat bersih (netto), tanggal pembuatan, serta keterangan lainnya bukan hanya memuat mengenai peringatan kesehatan.
"Peninjauan ulang sangat dibutuhkan dan sebisa mungkin melibatkan seluruh pihak terkait, jangan hanya melibatkan pihak yang dianggap akan sependapat dengan kebijakan yang ditetapkan hingga merugikan pihak lain yang juga berhubungan dengan peraturan tersebut,” katanya..
Dengan dipaksakannya kebijakan kemasan polos tanpa merek, menurut dia Kemenkes justru seperti menyamakan rokok elektronik dengan rokok sehingga menerapkan strategi yang bertolak belakang dalam upaya menurunkan prevalensi merokok di Indonesia.
Kondisi tersebut, dikatakannya bisa menyebabkan konsumen beralih ke produk ilegal maupun kembali mengonsumsi rokok.
"Pemerintah sudah berupaya cukup keras untuk menekan angka perokok di Indonesia. Hanya saja, mungkin, lebih baik langkah yang diambil jangan terlalu terburu-buru hingga terkesan dipaksakan, yang dapat berdampak merugikan kepada pihak lainnya," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Asosiasi minta kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dikaji ulang