Pasukannya dari dulu dan sekarang berjumlah 100 orang. Uniknya, semuanya perempuan. Galuh tak ingin dianggap bos di sini. Ia ingin berproses dan belajar bersama dalam kelompok Cintawari Saringan Tapin ini. Semula, kain yang diproduksi cocok pakai nama pahlawan yang keberadaannya tak diketahui orang kampung sampai sekarang ini.
Buah rintisan perjuangan Galuh dkk. itu kini sudah terasa. Pada 2023, omzet seluruhnya dari penjualan menembus ratusan juta rupiah. Adapun rata-rata pemasukan anggota kelompok Rp1,5 juta -- Rp2 juta.
Pemasukan anggota tergantung tingkat keahlian dan kemampuan waktu bekerja. Misalnya, untuk mencetak, jahit, kemas, hingga memasarkan . Artinya, kalau rajin kerja di kelompok Cintawari ini Insya Allah banyak duit, maka ekonomi tak akan sulit.
Tak hanya itu, api semangat Cintawari ini juga menyebar ke wilayah lain di daerah Tapin. Bertahun-tahun, Galuh menjadi pelopor bagi 17 usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk usaha sasirangan. Sekarang, kelompok itu diklaim sudah menghasilkan pundi-pundi rupiah dan berkembang dengan ciri khas masing-masing.
Semua itu, aku Galuh tak lepas dari bantuan Pemerintah Kabupaten Tapin, yang turut mendorong dan memfasilitasi gerakan kreatif para perempuan ini.
Masdinah memang cocok menyandang panggilan Galuh, yang berarti intan dalam bahasa Banjar itu. Setelah kepulangannya, kini kampung halamannya “berkilau” karena menjadi sentral pembuatan kain sasirangan yang mempunyai nilai di Kabupaten Tapin.
Rekam budaya
Terkait karakter kain sasirangan yang khas ini tak lepas dari intelektualitas Galuh. Perempuan ini, mungkin layak juga disebut sebagai pelestari seni budaya daerah Kabupaten Tapin karena menuangkan ragam kebudayaan ke dalam motif kain sasirangan.
Ustaz Abdul Somad alias UAS mengenakan baju bermotif kalayangan bakacak pinggang dan syal bermotif buhan tikup dari bahan kain sasirangan khas Kabupaten Tapin, saat ceramah di depan kediaman Bupati Tapin pada tahun lalu.
Kekayaan Kabupaten Tapin, yang disebut sebagai lumbung seni budaya Kalimantan Selatan, tak disia-siakan oleh Galuh untuk mencari motif sasirangan.
Mendapatkan motif ini, mengharuskan Galuh sedikit bertualang lagi. Bedanya, kini di tanah kelahirannya sendiri. Mulai dari mencari informasi dari pakar-pakar hingga terjun langsung ke kampung kampung, menemui langsung masyarakat yang bergelut di bidang kesenian kebudayaan.
Bukan hanya memburu motif untuk dituangkan ke kain sasirangan, Galuh juga menggali informasi tentang nilai-nilai luhur dalam sebuah motif. Hal itulah yang membuat unik sasirangan yang dibikin kelompok Cintawari ini.