Jakarta (ANTARA) - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai Pasal 182 huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur klausul syarat eks terpidana maju sebagai calon peserta pemilu, bertentangan dengan UUD Negara RI 1945.
"Kami menganggap ketentuan Pasal 182 huruf g bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (2), Ayat (3), dan Pasal 22 E Ayat (1) dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945," kata Fadli Ramadhanil selaku kuasa hukum Perludem sebagai pemohon Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin.
Pasal 182 huruf g tersebut menyatakan salah satu syarat sebagai peserta pemilu ialah tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan.
"Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana," demikian bunyi Pasal 182 huruf g UU Pemilu.
Di hadapan majelis hakim, Fadli juga menjelaskan empat basis argumentasi terkait perkara yang diajukan.
Pertama tentang kontestasi politik dan masifnya politik uang. Pascareformasi dan empat kali amendemen UUD 1945, menurut dia, masyarakat Indonesia sepakat dan berkomitmen terhadap pelaksanaan pemilu dilaksanakan secara demokratis sesuai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau Luber Jurdil.
Namun, katanya, dalam perjalanannya, penyelenggaraan pemilu belum sepenuhnya bebas dari praktik korupsi. Hal itu dibuktikan dengan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 yang mengungkapkan pejabat politik atau pejabat yang dipilih secara demokratis menjadi jumlah terbanyak pihak terjerat kasus korupsi.
"Salah satu yang menjadi penyebab pejabat politik terjerat korupsi ialah tingginya biaya politik yang harus dijalani peserta pemilu," jelas Fadli.
Atas dasar itu, dia menilai pentingnya kerangka hukum yang membuka ruang dan kesempatan agar calon peserta pemilu adalah orang-orang dengan integritas baik.
Argumentasi kedua, lanjutnya, terkait pengujian pasal yang digugat yakni mengenai pentingnya persyaratan calon bagi kandidat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan rentannya anggota DPD terjebak praktik korupsi.
Ketiga, dia menyampaikan terkait rasionalisasi masa tunggu mantan terpidana. Pemohon beranggapan masa tunggu penting untuk diperhatikan guna memberikan efek jera sekaligus daya cegah kepada pejabat politik yang dipilih dalam proses pemilu agar hati-hati dan tidak lagi melakukan praktik korupsi.
Keempat, Fadli menyampaikan berkaitan dengan sikap MK dalam beberapa putusan terkait persyaratan pencalonan peserta pemilu.
Sidang Perkara Nomor 12/PUU-XXI/2023 itu dipimpin langsung oleh Hakim MK Saldi Isra dengan hakim anggota masing-masing yakni Suhartoyo dan Wahiduddin Adams.