Mendorong pelaku usaha ultra mikro naik kelas

id umkm,usaha mikro,usaha ultra mikro,kementerian keuangan

Mendorong pelaku usaha ultra mikro naik kelas

Sri Wahyuni, sedang merebus kain di tempat usaha yang sekaligus kediamannya di Lorong Sawah, Kelurahan Tuan Kentang, Palembang, Selasa (1/2/22). (ANTARA/Dolly Rosana)

Usaha mulai dari UMKM hingga ultra mikro memiliki dua persoalan utama yakni finansial dan nonfinansial. Hanya melalui bantuan modal dan pendampingan yang dapat membuat mereka naik kelas
Palembang (ANTARA) - Pelaku usaha mikro hingga ultra mikro kerap dihadapkan persoalan kekurangan modal karena sulitnya mengakses pinjaman perbankan.

Status usaha yang unbankable juga terkadang membuat mereka terpedaya oleh rentenir.

Namun sejak pemerintah melalui Kementerian Keuangan meluncurkan program pembiayaan ultra mikro (UMi), persoalan untuk mendapatkan modal usaha pun mulai ada solusinya.

Sri Wahyuni, pelaku usaha kain jumputan di Lorong Sawah, Kelurahan Tuan Kentang, Palembang, Sumatera Selatan, merupakan salah satunya yang menghadapi persoalan tersebut.

Pelaku usaha berusia 24 tahun ini tak pernah berhasil mendapatkan pinjaman perbankan.

Bukannya tak berupaya, tapi ia selalu mendapatkan jawaban bahwa dirinya tak lolos seleksi administrasi. Sudah dua perbankan yang didatanginya yakni BRI dan Bank Sumsel Babel untuk mendapatkan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Keduanya bank itu kompak menolak permohonan Sri, walau dia siap mengagunkan surat Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) sepeda motor.

“Kata petugas bank tidak lolos BI Checking, apa itu saya tidak ngerti. Katanya saya ada pinjaman di tempat lain, padahal boro-boro,” kata Sri Wahyuni yang diwawancarai di kediamannya yang sekaligus menjadi tempat usaha, Selasa (1/2/22).

Usaha kain jumputan sudah digelutinya bersama suami sejak enam tahun lalu. Mereka mendapatkan kepandaian dalam usaha pembuatan kain khas daerah Sumsel ini secara turun-temurun dari orangtua.

Walau sudah cukup lama, bisa dikatakan usaha tersebut begitu-begitu saja atau tak kunjung naik kelas.

Aliran dana selalu bercampur antara kebutuhan rumah tangga dan modal usaha. “Yang penting lewat makan, ya sudah artinya untung,” kata Sri berseloroh.

Jika ditelisik sebenarnya usaha Sri terbilang cukup menjanjikan. Walau berada di kawasan kumuh yang tidak dapat disambangi dengan kendaraan roda empat, seluruh produksi kainnya selalu diserap distributor.

Namun disayangkan, modalnya hanya mampu untuk memproduksi 100 lembar kain. Hal ini membuat biaya produksi relatif tinggi, apalagi kain jumputan ini merupakan produk buatan tangan (handmade).

Untuk mendapatkan satu lembar kain jumputan setidaknya Sri harus melalui proses hingga satu bulan.

Pertama-tama kain berbahan valvet, fiscos, dobby, katun atau semisutra dipotong menjadi berukuran 2x3 meter. Lalu, kain dilukis sesuai motif khas jumputan misalnya titik tujuh, kembang tabur dan sasirangan (lereng). Kemudian dijahit dan diikat dengan benang (jahit-kebat) agar muncul motif jumputannya.

Kain itu kemudian direbus dengan air untuk diberikan warna orange sebagai warna dasar. Lalu, kain diwarnai pada titik-titik tertentu sesuai selera. Setelah itu ikatan kain (jumputan) dibuka, dan dilanjutkan dengan proses penjemuran selama satu hari.

Dari proses ini yang paling sulit yakni jahit-kebat karena tak sembarang orang bisa melakukannya. Pada umumnya, keahlian ini dimiliki orang yang sudah berusia lanjut di kampung Sri. Waktu pengerjaannya pun terbilang lama, yakni sekitar satu minggu per kain khusus untuk motif titik tujuh dengan upah Rp100.000.

“Tersedot di sini terkadang modalnya selain untuk beli zat pewarna, berapa pun yang diantar mereka (penjahit kain) harus dibayar kontan. Misal serentak yang datang 50 lembar, artinya butuh Rp5 juta,” kata Sri.

Kondisi kekurangan modal ini yang terkadang membuat Sri frustasi. Sempat terbersit untuk meminjam uang dari rentenir, tapi ia khawatir nanti jika telat membayar akan terkena bunga yang tinggi sehingga hutang terus menumpuk.

Pinjaman modal usaha pun akhirnya diperoleh dari PT Permodalan Nasional Madani (Persero). Awalnya, ada salah seorang agen di kampungnya yang menawarkan bergabung dalam kelompok usaha untuk mendapatkan pinjaman PNM Mekaar berkisar Rp2 juta hingga Rp10 juta.

Adapun syaratnya terbilang ringan yakni, nasabah harus perempuan, tidak memiliki pinjaman di tempat lain, dan bersedia mengikuti pertemuan setiap akhir pekan di rumah ketua kelompok.

Pinjaman dibayar secara mencicil senilai Rp100 ribu per pekan, dan jika ada anggota kelompok yang tidak membayar angsuran maka akan ditanggung bersama (tanggung renteng).

Sejak September 2021, Sri sudah mengakses pinjaman tersebut bersama sembilan orang lainnya dari beragam jenis usaha.

Dengan adanya tambahan modal Rp2 juta itu, setidaknya Sri dapat menambah produksi dari semula Rp80 lembar menjadi Rp100 lembar untuk satu kali periode pengiriman ke distributor di Pasar 16 Ilir Palembang dan komplek perbelanjaan Ramayana.

Walau keuntungan belum begitu signifikan karena ibu dua anak ini hanya mendapatkan margin Rp20.000 per lembar kain tapi setidaknya usahanya mulai berkembang dari biasanya.
 
Pelaku usaha menjemur kain jumputan di sentra produksi kain khas Sumsel Tuan Kentang, Palembang, Sumsel, Selasa (1/2/22). (ANTARA/Dolly Rosana)


Dengan menjual kain senilai Rp150.000 per lembar, Sri sudah memperkerjakan dua remaja putus sekolah.

Ia berharap, lambat laun usahanya ini terus berkembang sehingga bisa memproduksi ribuan lembar kain seperti usahawan lainnya. Ia bercita-cita nantinya bisa memiliki toko sendiri hingga berdagang secara daring (online).

Kini ia mendapatkan tawaran dari PNM untuk mendapatkan pinjaman modal tahap kedua Rp4 juta jika sudah melunasi pinjaman yang pertama senilai Rp3 juta.

Sementara Hernelis, nasabah PNM Mekaar di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, juga berharap usahanya dapat berkembang setelah mendapatkan suntikan modal pembiayaan UMi.

Penjual sosis goreng ini mengakses pinjaman Mekaar sejak tiga tahun lalu, dan kini sudah naik tingkat ke skema pinjaman Rp7 juta.

"Saya awalnya mendapatkan pinjaman modal Rp2 juta dan kini usaha terus berkembang sehingga masuk dalam program Mekaar Plus yang bisa akses modal Rp7 juta,” kata dia.

Awalnya ia cuma berdagang sosis goreng memanfaatkan pinjaman modal usaha Mekaar Rp2 juta. Lantaran usahanya terus berkembang, ia pun membuka usaha lain yakni warung sembako.

Hernelis yang merupakan ketua kelompok PNM Mekaar di Desa Mainan ini kini menjadi motivator bisnis bagi anggotanya yang berjumlah 31 orang.

Setiap akhir pekan, para anggota berkumpul di kediamannya untuk mendengarkan edukasi petugas pendamping dari PNM, dan sekaligus membayar cicilan pinjaman.

"Jika ada anggota yang tidak bayar, pasti saya talangi dulu karena anggota merupakan teman dan kerabat sendiri. Tapi ini kadang-kadang saja," kata Hernelis.

Pendampingan

Kepala Regional PNM Palembang yang membawahi Kota Palembang dan Provinsi Bangka Belitung, Hanifah mengatakan pembiayaan PNM Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar) ini merupakan layanan pemberdayaan berbasis kelompok khusus untuk perempuan prasejahtera.

Mereka yang dapat mengakses pinjaman ini yakni perempuan dari keluarga dengan pendapatan lebih kurang Rp800.000 per bulan dan memiliki usaha produktif tapi tidak memiliki agunan.

Pelaku usaha ini nantinya mendapatkan pinjaman Rp2 juta hingga Rp10 juta dengan syarat harus bergabung dalam kelompok usaha yang terdiri dari 7-10 orang. Selain itu, para ibu-ibu ini juga bersedia menanggung renteng dan mengikuti pertemuan satu kali setiap pekan.

Nantinya setelah dianggap mapan, pelaku usaha ultra mikro ini dapat mengakses pinjaman yang lebih besar dari PNM UlaMM (Unit Layanan Modal Mikro) dengan pembiayaan berkisar Rp10-200 juta dengan bunga non subsidi.

“PNM Mekaar itu menjadi embrionya pelaku usaha, nanti jika sudah besar baru bisa mengakses pinjaman PNM UlaMM,” kata dia.

Sejauh ini PNM Mekaar di Sumsel telah diakses 465.480 nasabah atau 26.813 kelompok usaha dengan total penyaluran pinjaman pada 2021 mencapai Rp1,18 triliun, sementara realisasi total penyaluran sejak tahun 2017  mencapai Rp4,19 triliun.

PNM merupakan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang dipercaya Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk menyalurkan pembiayaan UMi. Pemerintah menunjuk BLU-PIP sebagai coordinated fund pembiayaan UMi.

Selain PNM, pembiayaan UMi juga disalurkan PT Pegadaian (Persero) dan PT Bahana Artha Ventura. Sumber pendanaannya berasal dari APBN, kontribusi pemerintah daerah dan lembaga-lembaga keuangan, baik domestik maupun global.

Melalui strategi menyusur pelaku usaha dari desa ke desa hingga lorong ke lorong sejak tahun 2017, setidaknya sudah 1.900 nasabah PNM Mekaar yang mampu naik kelas di Sumsel, yang mana pada periode 2020-2021 sudah mendapatkan pinjaman di atas Rp10 juta.

Menurutnya, capaian ini tak lepas dari kegiatan pendampingan ke pelaku usaha ultra mikro dengan mengikutsertakan dalam sejumlah program, di antaranya, program pengembangan kapasitas usaha online yakni dengan memberikan pelatihan di tempat usaha.

Selama pandemi COVID-19, pendampingan tetap dilakukan dengan memberikan edukasi melalui media whastapp group dan kanal youtube, hingga menggunakan sarana pertemuan virtual zoom meeting dan google meet. Edukasi di antaranya berupa informasi mengenai peluang dan upaya untuk bertahan di tengah pandemi.

PNM Mekaar di Sumsel hingga kini memiliki 2.017 orang pendamping kelompok yang tersebar di 103 cabang. Bahkan khusus Kota Palembang, kantor cabang sudah ada di tiap kecamatan, kata dia.

Untuk mendapatkan pinjaman PNM ini, lembaganya mengawali dengan menyurvei ke lokasi usaha calon nasabah. Kemudian, setelah dinyatakan layak menerima pinjaman, pelaku usaha diwajibkan mengikuti pelatihan selama tiga hari.

Lalu menuju tahap persiapan pencairan dana selama satu pekan. Pada pekan pertama itu, pelaku usaha dipersilakan mempersiapkan usaha sehingga tidak dibebankan pembayaran ansuran. Cicilan pertama akan dilakukan pada minggu kedua setelah mendapatkan pinjaman.

Naik kelas

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Sumsel Lydia Kurniawati Christyana mengatakan modal merupakan faktor penting bagi pelaku usaha mikro dan ultra mikro untuk naik kelas.

“Bisa saja mereka bertahan dengan modal yang ada, tapi ujung-ujungnya muter-muter di situ saja, tak bisa naik kelas,” kata Lydia yang diwawancarai setelah acara sosialisasi ragam pembiayaan UMKM di Palembang, Selasa (18/2/22).
 
Profil nasabah PNM Mekaar di Sumsel (ANTARA/HO/Dolly/Ang/22)


Oleh karena itu, negara hadir di sini untuk memberikan bantuan ke pelaku usaha ultra mikro dalam skema pembiayaan UMi, yang khusus diberikan kepada mereka yang selama ini unbankable supaya tidak terjerat rentenir.

Pengalokasian dana APBN ini pada prinsipnya tidak terbatas, atau disesuaikan dengan permintaan lembaga penyalur, yang mana di Sumsel hanya ada dua yakni PNM dan PT Pegadaian.

Berbeda dengan PNM yang mewajibkan peminjamnya adalah perempuan, maka PT Pegadaian bisa memberikan pembiayaan UMi bagi kalangan individu dengan menjadikan barang yang dimiliki sebagai agunan.

“Selama ini, ada barang yang tidak bisa ditera oleh perbankan tapi bisa ditera oleh pegadaian seperti telepon seluler, BPKB dan lainnya. Di sini kemudahannya,” kata dia.

Sejauh ini total realisasi penyaluran UMi di Sumsel sampai 31 Desember 2021 mencapai Rp195 miliar dengan jumlah debitur sebanyak 50.807 orang.

Jika dibandingkan dengan tahun 2020, total penyaluran mengalami penurunan 0,13 persen. Salah satu penyebabnya, karena adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak pertengahan tahun 2021.

Sementara, pengamat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Sri Rahayu menilai pelaku usaha ultra mikro hingga kini masih dihadapkan persoalan permodalan.

Padahal ketersediaan modal sangat berkaitan dengan kemampuan memproduksi barang. Jika produksi rendah maka secara otomatis harga jual akan tinggi sehingga menurunkan daya saing.

“Saya sangat setuju dengan pinjaman berbasis kelompok ini karena melatih pelaku usaha bekerja sama dan bertanggung jawab. Sementara bagi kreditur, pola ini juga aman karena pinjaman dipastikan kembali dan mencegah adanya kredit macet,” kata dia.

Adanya model tanggung renteng ini tak lain untuk menumbuhkan karakter bertanggung jawab dan gotong royong dari pelaku usaha ultra mikro. Apalagi, dana pembiayaan UMi bersumber dari APBN yang harus dikembalikan lagi ke negara.

Berbeda dengan skema pinjaman rendah bunga lainnya untuk pelaku UMKM, pembiayaan UMi ini agak unik karena syarat yang diberlakukan terbilang ringan, seperti jika usahawan baru maka tidak dibebankan untuk membuat laporan keuangan serta tidak mesti lolos BI Checking (Sistem Informasi Debitur).

Hanya saja yang perlu dipikirkan, siapa saja yang bisa mengakses pinjaman ini. Kadangkala di tengah masyarakat kelas ekonomi lemah itu sudah ada individu yang terkait persoalan sosial seperti premanisme, narkoba dan lainnya.

“Mereka yang sudah di-black list apakah bisa dibantu, perlu juga negara memikirkannya. Walau dia seorang preman tapi jika ada keinginan yang kuat untuk berubah, seharusnya juga diberikan kesempatan. Artinya kembali pada sistem surveinya,” kata Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadyah Palembang ini yang juga ketua Rumah Kreatif Sumsel dan Forum CSR Sumsel.

Kepala Divisi Penyaluran Pembiayaan I Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah (BLU-PIP) Kementerian Keuangan, Ary Dekky Hananto secara virtual Jumat (14/2/22) mengatakan pembiayaan UMi ini merupakan program tahap lanjutan dari program bantuan sosial yang khusus menyasar usaha mikro lapisan terbawah, yang belum bisa difasilitasi perbankan melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR).

UMi memberikan fasilitas pembiayaan maksimal Rp10 juta per nasabah dan disalurkan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).

Di tengah upaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pembiayaan UMi ini diharapkan dapat membantu masyarakat yang kehilangan pekerjaan hingga berkurang pendapatan akibat pandemi.

"Dengan kemudahan yang diberikan diharapkan pembiayaan UMi ini banyak diakses oleh pelaku usaha ultra mikro yang selama ini belum terjamah, baik bagi mereka yang baru berusaha maupun yang ingin mengembangkan usahanya," kata Ary.

Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah (BLU-PIP) Kementerian Keuangan menargetkan penyaluran pembiayaan dana bergulir untuk pelaku usaha ultra mikro akan tumbuh sekitar 10 persen dengan debitur baru sebanyak 2 juta orang.

Pada 2021 secara nasional, BLU-PIP menyalurkan pembiayaan UMi sebanyak Rp7,034 triliun kepada 1,8 juta debitur. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp1,18 triliun disalurkan ke 465.480 nasabah di Sumatera Selatan.

Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Selatan Supriyono mengatakan pemerintah memiliki beragam program bantuan modal bagi pelaku usaha, baik usaha menengah hingga ultra mikro.

Namun, disayangkan terkadang tak banyak dari pelaku usaha, khususnya ultra mikro yang mendapatkan informasi mengenai program bantuan pinjaman rendah bunga dari pemerintah ini.

Untuk itu, Pemprov Sumsel akan mengoptimalkan keberadaan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah  (TPAKD) yang kepengurusannya sudah berada di tiap kabupaten/kota.

“Sinergi ini yang dibutuhkan karena dengan membaiknya kondisi ekonomi pasca terpuruk akibat pandemi COVID-19 telah menumbuhkan optimisme seluruh pelaku usaha di Tanah Air, termasuk juga usaha ultra mikro untuk bangkit,” kata dia.

Usaha mulai dari UMKM hingga ultra mikro memiliki dua persoalan utama yakni finansial dan nonfinansial.

Di level mikro, umumnya permasalahan pada sulitnya akses pembiayaan, kurangnya kemampuan usaha, rendahnya kuantitas dan kualitas barang, serta keterbatasan akses pasar. Sementara pada level UMKM, biasanya kerap kesulitan ketika harus melompat ke skala usaha menengah hingga besar.

Hanya melalui bantuan modal dan pendampingan yang dapat membuat mereka naik kelas.