Jakarta (ANTARA) - PT PLN (Persero) membutuhkan suntikan modal sebesar 500 miliar dolar AS untuk pengembangan proyek energi hijau demi mewujudkan target karbon netral pada 2060.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PLN Sinthya Roesly mengatakan pihaknya memerlukan banyak dukungan stakeholder untuk mencapai cita-cita bersama dengan instrumen pinjaman lunak guna mempercepat pelaksanaan proyek dekarbonisasi.
"Selain itu, bantuan teknis untuk menetapkan standar proyek yang sesuai agar memenuhi syarat untuk pembiayaan hijau," kata Sinthya dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Selasa.
PLN membuka opsi dari berbagai instrumen untuk menangkap peluang pendanaan hijau dalam proyek kelistrikan.
Pertama, obligasi hijau atau green bonds yang nanti hasilnya akan secara eksklusif diterapkan untuk membiayai kembali proyek dengan manfaat lingkungan yang jelas.
Kedua, pendanaan social bonds yang akan dimanfaatkan PLN untuk menjalankan proyek-proyek strategis yang berdampak langsung kepada masyarakat dan mengurangi dampak persoalan sosial masyarakat.
Ketiga, pendanaan sustainability bonds yang penerapannya bisa secara eksklusif diterapkan untuk membiayai kembali kombinasi proyek hijau dan sosial.
"PLN juga berkomitmen untuk memanfaatkan pendanaan ini semaksimal mungkin dengan sistem pengawasan berkelanjutan dan juga melakukan pelaporan dana yang diserap secara berkala," ujar Sinthya.
Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa pendanaan hijau ini bukan yang pertama bagi PLN.
Pada 23 Desember 2020, perseroan telah berhasil menerbitkan green loan senilai 500 juta dolar AS. Pendanaan ini dimanfaatkan untuk menyelesaikan dua proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan lima proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Menurut Sinthya, kepercayaan dalam penerbitan green loan ini bahkan dijamin oleh Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) Bank Dunia.
"Pendanaan hijau ini 95 persen dijamin oleh MIGA Bank Dunia dan berlangsung selama lima tahun. Bank Dunia mendukung PLN melalui program yang berjudul Non-Honouring of Financial Obligation oleh Badan Usaha Milik Negara (NHFO-BUMN)," jelasnya.
Managing Director of Southeast Asia Clean Energy Facility (SEACEF) Mason Wallick melihat kondisi kelebihan suplai dari pembangkit fosil saat ini cukup membebani PLN dalam mengembangkan pembangkit energi baru terbarukan. Terlebih proyeksi pertumbuhan permintaan listrik tidak akan mampu mengejar kelebihan suplai dalam jangka waktu 10 tahun.
"Reformasi dan modernisasi tarif PLN akan membuka jalan bagi alokasi risiko untuk terobosan ke depan untuk pembiayaan campuran dan pendanaan sektor swasta," kata Mason.
Sementara itu, Director of the Environment Directorate of the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Rodolfo Lacy memproyeksikan arah energi dan perubahan iklim akan ditentukan oleh perkembangan negara berkembang.
Di luar China, negara-negara berkembang berkontribusi terhadap seperlima investasi energi pada 2020, atau sekitar 150 miliar dolar AS.
"Berita baiknya adalah tidak ada kekurangan pada modal global, teknologi juga ada. Global Financial System sekarang sangat mencari untuk menambah portfolionya dengan proyek ramah lingkungan," ujar Rodolfo.
Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara, Riset, dan Inovasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna memastikan pemerintah akan berupaya meningkatkan akses proyek energi baru terbarukan terhadap pembiayaan global.
Dia menyampaikan Kementerian Koordinator Perekonomian baru saja meresmikan tahap kedua Indonesia Sustainable Finance Roadmap yang akan menjadi kunci dalam menciptakan ekosistem pembiayaan berorientasi lingkungan.
"Kita membutuhkan 6,3 miliar dolar AS per tahun untuk pengembangan energi baru terbarukan sampai dengan 2025. Dari nilai tersebut, sampai saat ini hanya 24 persen yang terealisasi," pungkas Montty.