Dampak ekonomi ibu kota baru terhadap nasional sangat kecil
Jakarta (ANTARA) - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pemindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan hanya akan mendorong kegiatan produksi yang tidak memiliki "multiplier effect" besar, seperti sektor administrasi, pertahanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, sedangkan dampaknya terhadap ekonomi nasional sangat kecil.
"Jika nantinya pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Tengah maka besaran output ekonomi yang dihasilkan hanya berdampak pada Kalimantan Tengah saja, sedangkan pada skala nasional dampaknya akan sangat kecil," kata peneliti INDEF Rizal Taufikurahman di Jakarta, Jumat.
Rizal menjelaskan, dampak ekonomi dari ibu kota baru hanya meningkat pada sektor administrasi, pertahanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, kertas, publikasi sektor angkutan udara, angkutan umum, bukan pada sektor yang berbasis pada sumber daya alam yang memiliki "multiplier effect" besar terhadap ekonomi.
Menurutnya, dampak output terbesar terjadi pada sektor sebesar 12,9 persen, disusul sektor transportasi udara sebesar 3,82 persen, hunian 3,09 persen, rekreasi 2,23 persen, jasa pelayanan 2,19 persen, air 2,32 persen.
Sama halnya jika ibu kota pindah ke Kalimantan Timur, maka sektor yang output peningkatannya besar adalah administrasi, pertahanan pendidikan, kesehatan yang keseluruhnnya mencapai 7,42 persen.
Sehingga kalau dilihat dari jumlah output yang akan di produksi sektor-sektor, maka dampaknya terhadap perekonomian relatif jauh lebih baik jika ibu kota negara berada di Kalimantan Tengah ketimbang Kalimantan Timur.
Dalam laporan risetnya, INDEF menyimpulkan dampak terhadap kinerja ekonomi sektoral pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, secara umum menstimulus turunnya jumlah output sektoral yang terjadi di hampir semua sektor atau industri baik di tingkat provinsi maupun nasional. Terutama sektor trade-able goods dan berbasis sumber daya alam.
Selain itu, peningkatan jumlah output yang terjadi mayoritas pada beberapa sektor non trade-able good seperti sektor administrasi, pertahanan, jasa dan sejenisnya.
Sebelumnya pada Jumat (16/8), Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Sidang Bersama DPR RI-DPD RI menyatakan meminta izin kepada bangsa Indonesia untuk memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.
Menurut Joko Widodo, ibu kota negara bukan hanya simbol tapi menjadi representasi kemajuan bangsa dengan mengusung konsep modern, smart, and green city, memakai energi baru dan terbarukan, serta tidak bergantung kepada energi fosil.
Presiden Joko Widodo mengatakan sumber pendanaan pemindahan Ibu Kota Baru di Kalimantan akan didorong dari kolaborasi partisipasi perusahaan swasta, BUMN ataupun skema Kerja sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).
"Jika nantinya pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Tengah maka besaran output ekonomi yang dihasilkan hanya berdampak pada Kalimantan Tengah saja, sedangkan pada skala nasional dampaknya akan sangat kecil," kata peneliti INDEF Rizal Taufikurahman di Jakarta, Jumat.
Rizal menjelaskan, dampak ekonomi dari ibu kota baru hanya meningkat pada sektor administrasi, pertahanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, kertas, publikasi sektor angkutan udara, angkutan umum, bukan pada sektor yang berbasis pada sumber daya alam yang memiliki "multiplier effect" besar terhadap ekonomi.
Menurutnya, dampak output terbesar terjadi pada sektor sebesar 12,9 persen, disusul sektor transportasi udara sebesar 3,82 persen, hunian 3,09 persen, rekreasi 2,23 persen, jasa pelayanan 2,19 persen, air 2,32 persen.
Sama halnya jika ibu kota pindah ke Kalimantan Timur, maka sektor yang output peningkatannya besar adalah administrasi, pertahanan pendidikan, kesehatan yang keseluruhnnya mencapai 7,42 persen.
Sehingga kalau dilihat dari jumlah output yang akan di produksi sektor-sektor, maka dampaknya terhadap perekonomian relatif jauh lebih baik jika ibu kota negara berada di Kalimantan Tengah ketimbang Kalimantan Timur.
Dalam laporan risetnya, INDEF menyimpulkan dampak terhadap kinerja ekonomi sektoral pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, secara umum menstimulus turunnya jumlah output sektoral yang terjadi di hampir semua sektor atau industri baik di tingkat provinsi maupun nasional. Terutama sektor trade-able goods dan berbasis sumber daya alam.
Selain itu, peningkatan jumlah output yang terjadi mayoritas pada beberapa sektor non trade-able good seperti sektor administrasi, pertahanan, jasa dan sejenisnya.
Sebelumnya pada Jumat (16/8), Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Sidang Bersama DPR RI-DPD RI menyatakan meminta izin kepada bangsa Indonesia untuk memindahkan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.
Menurut Joko Widodo, ibu kota negara bukan hanya simbol tapi menjadi representasi kemajuan bangsa dengan mengusung konsep modern, smart, and green city, memakai energi baru dan terbarukan, serta tidak bergantung kepada energi fosil.
Presiden Joko Widodo mengatakan sumber pendanaan pemindahan Ibu Kota Baru di Kalimantan akan didorong dari kolaborasi partisipasi perusahaan swasta, BUMN ataupun skema Kerja sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).