KPPPA gelar rapat koordinasi pencegahan pernikahan anak
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perkawinan Anak menggelar rapat koordinasi untuk menetapkan langkah pemerintah dalam pencegahan perkawinan anak setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perkawinan anak.
"Saat pertemuan pada Desember 2018 setelah putusan tersebut dikeluarkan, Ketua MK Anwar Usman memberikan dukungan kepada kami untuk melakukan upaya pencegahan perkawinan anak," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise pada rapat tersebut di Jakarta, Jumat.
Ia juga mengaku sudah bertemu dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin terkait dengan masalah itu.
Menurut dia, sudah ada kesepakatan bersama untuk mencegah perkawinan anak.
Untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Agama akan segera membentuk tim teknis untuk menentukan langkah-langkah strategis tentang pencegahan perkawinan anak.
"Biro Hukum dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Agama akan membicarakan lebih lanjut langkah-langkah yang dilakukan," tuturnya.
Yohana mengatakan aturan pencegahan perkawinan anak harus sudah ada paling lambat September 2019 karena periode pemerintahan akan berakhir pada Oktober 2019.
"Kalau setelah pemerintahan baru, mungkin harus mulai dari nol lagi. Akan lebih baik kalau bisa menjadi kado Hari Anak Nasional yang diperingati 23 Juli," katanya.
Pada rapat koordinasi itu mengemuka bahwa kemungkinan pembahasan aturan pencegahan perkawinan anak bisa dilakukan tanpa harus masuk dalam program legislasi DPR karena berdasarkan putusan MK.
Aturan pencegahan perkawinan anak tetap harus dibahas bersama DPR sebagai lembaga legislatif yang membuat undang-undang. Struktur hukum Indonesia mengatur bahwa undang-undang dibuat oleh DPR atau DPR bersama pemerintah.
Hal itu, diingatkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Siti Ruhaini Dzuhayatin.
Menurut Ruhaini, aturan pencegahan perkawinan anak setelah diberlakukan akan dilaksanakan oleh yudikatif.
"Hakim akan menggunakan hierarki hukum. Dalam hierarki hukum, keputusan pemerintah akan dikesampingkan. Karena itu, aturan pencegahan perkawinan anak tetap harus dibahas bersama DPR sebagai pembuat undang-undang," katanya.
Rapat koordinasi tersebut diikuti oleh perwakilan kementerian dan lembaga, yaitu Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Rapat koordinasi juga melibatkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Yayasan Kesehatan Perempuan, Kapal Perempuan, Aliansi Remaja Indonesia, Kalyana Mitra, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia serta perwakilan dari Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) dan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA).
"Saat pertemuan pada Desember 2018 setelah putusan tersebut dikeluarkan, Ketua MK Anwar Usman memberikan dukungan kepada kami untuk melakukan upaya pencegahan perkawinan anak," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise pada rapat tersebut di Jakarta, Jumat.
Ia juga mengaku sudah bertemu dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin terkait dengan masalah itu.
Menurut dia, sudah ada kesepakatan bersama untuk mencegah perkawinan anak.
Untuk menindaklanjuti putusan MK tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Agama akan segera membentuk tim teknis untuk menentukan langkah-langkah strategis tentang pencegahan perkawinan anak.
"Biro Hukum dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Agama akan membicarakan lebih lanjut langkah-langkah yang dilakukan," tuturnya.
Yohana mengatakan aturan pencegahan perkawinan anak harus sudah ada paling lambat September 2019 karena periode pemerintahan akan berakhir pada Oktober 2019.
"Kalau setelah pemerintahan baru, mungkin harus mulai dari nol lagi. Akan lebih baik kalau bisa menjadi kado Hari Anak Nasional yang diperingati 23 Juli," katanya.
Pada rapat koordinasi itu mengemuka bahwa kemungkinan pembahasan aturan pencegahan perkawinan anak bisa dilakukan tanpa harus masuk dalam program legislasi DPR karena berdasarkan putusan MK.
Aturan pencegahan perkawinan anak tetap harus dibahas bersama DPR sebagai lembaga legislatif yang membuat undang-undang. Struktur hukum Indonesia mengatur bahwa undang-undang dibuat oleh DPR atau DPR bersama pemerintah.
Hal itu, diingatkan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Siti Ruhaini Dzuhayatin.
Menurut Ruhaini, aturan pencegahan perkawinan anak setelah diberlakukan akan dilaksanakan oleh yudikatif.
"Hakim akan menggunakan hierarki hukum. Dalam hierarki hukum, keputusan pemerintah akan dikesampingkan. Karena itu, aturan pencegahan perkawinan anak tetap harus dibahas bersama DPR sebagai pembuat undang-undang," katanya.
Rapat koordinasi tersebut diikuti oleh perwakilan kementerian dan lembaga, yaitu Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Rapat koordinasi juga melibatkan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti Yayasan Kesehatan Perempuan, Kapal Perempuan, Aliansi Remaja Indonesia, Kalyana Mitra, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Ikatan Bidan Indonesia serta perwakilan dari Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) dan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA).