LSM nilai aturan LTV Bank Indonesia tidak efektif

id bank indonesia, bi, ltv, aturan ltv, loan to value

 LSM nilai aturan LTV Bank Indonesia tidak efektif

Ilustrasi - Kantor Bank Indonesia di Palembang.(Foto Antarasumsel.com/Feny Selly)

...Aturan LTV menjadi tidak efektif di tengah pasar properti yang telah memasuki siklus jenuh dan kecenderungan melambat sampai dua tahun ke depan...

Jakarta (ANTARA Sumsel) - LSM Indonesia Property Watch menilai aturan "loan to value" (LTV) yang telah diberlakukan Bank Indonesia tidak efektif untuk meredam aksi spekulasi di sektor properti karena makin melambatnya laju properti di Tanah Air.

"Aturan LTV menjadi tidak efektif di tengah pasar properti yang telah memasuki siklus jenuh dan kecenderungan melambat sampai dua tahun ke depan," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, Senin.

Kebijakan LTV yang baru dikeluarkan BI adalah besaran jumlah uang muka yang harus dibayar untuk membeli suatu properti dengan menggunakan kredit pemilikan rumah (KPR), yaitu dengan besaran 40 persen bagi KPR kedua untuk tipe bangunan lebih dari 70 meter persegi.

Ali berpendapat, aturan LTV yang berbasis perbankan itu tidak cukup untuk meredam spekulasi properti yang terjadi pada saat ini.

Selain itu, lanjutnya, aturan-aturan lain yang dikeluarkan BI juga relatif tidak akan menjadi efektif karena pasar properti melambat dan daya beli menurun.

"Pengetatan yang dilakukan akan membuat perekonomian akan turut melambat dan pasar properti menjadi semakin terpuruk," kata Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch.

Untuk itu, ia mengutarakan harapannya agar BI tidak mengeluarkan aturan baru yang berdampak terhadap memburuknya pasar properti yang terjadi pada saat ini.

Sebelumnya, konsultan properti Colliers International memperkirakan akan banyak pengembang menunda pengerjaan proyeknya pada tahun 2014 ini antara lain karena melemahnya kurs rupiah. "Untuk jangka pendek, akan banyak pengembang yang menunda proyeknya," kata Associate Director Research Colliers International Ferry Salanto di Jakarta, Selasa (7/1).

Menurut Ferry, penundaan pembangunan terutama terjadi pada proyek properti yang menggunakan banyak komponen impor.

Hal itu, ujar dia, terkait dengan pelemahan kurs rupiah sehingga konsekuensi harga akan meningkat meski laju peningkatannya pada tahun 2014 ini diperkirakan tidak akan setinggi tahun 2012 dan 2013.

"Pelaku usaha properti seperti penyewa atau pembeli juga akan berhati-hati dengan biaya rental (sewa) yang menggunakan dolar Amerika Serikat karena tingkat volatilitasnya yang tinggi," katanya.

Ia juga mengatakan, untuk saat ini, pihak pembeli atau penyewa lebih memilih penyewaan yang bentuk pembayarannya menggunakan mata uang rupiah.