Bandarlampung (ANTARA Sumsel) - Empat perempuan belia yang berasal dari Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung belum lama ini berhasil diamankan kepolisian setempat, setelah nyaris dibawa keluar daerah dan menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking).
Para perempuan belia pelajar SMP, yaitu NV, LN, TN, dan AY pun mengakui, ternyata pernah dicabuli, diperkosa secara bergiliran, dan direkam adegan saat mendapatkan perlakuan pelecehan seksual.
Pelaku memeras para korban itu, dengan ancaman bila permintaannya tidak dipenuhi, adegan yang telah direkam sebelumnya akan disebarluaskan.
Kasus serupa sebelumnya beberapa kali terungkap oleh pihak kepolisian, tapi ditengarai masih lebih banyak pelaku dan para korban belum tersentuh penegak hukum.
Kasus dugaan perdagangan manusia juga dialami Astuti (35), warga Kelurahan Kebonjeruk Kecamatan Tanjungkarang Timur Kota Bandarlampung yang hingga kini nasibnya belum jelas, setelah bekerja sejak beberapa tahun lalu sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Yordania.
Sekitar enam tahun bekerja di Yordania nyaris tanpa kabar, Astuti melalui surat kepada keluarganya di Bandarlampung meminta dapat dijemput oleh keluarganya ke Yordania.
Alasannya, dia mengaku disiksa setiap hari oleh majikannya di negara itu.
Setelah adanya kabar itu, rumah Siti Aminah (55), orang tua Astuti di Kelurahan Kebonjeruk kerap didatangi kerabat dan tetangganya yang ingin mengetahui nasib putri kedua Aminah yang menjadi TKW itu.
Pihak keluarga mengaku, sejak awal bekerja hingga saat ini, keluarga justru tidak pernah mendapatkan uang kiriman dari Astuti.
Menurut Sely Fitriani SH, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR, kasus dialami Astuti, tenaga kerja Indonesia (TKI) buruh migran asal Bandarlampung merupakan gambaran utuh wajah kerentanan nasib buruh migran Indonesia khususnya di Lampung saat ini.
"Perlu kerja cepat pemerintah daerah dalam proses penanganan, perlindungan dan kepulangan korban dari Yordania. Korban tidak bisa dibiarkan sendiri dalam kondisi dieksploitasi dan mengalami tindakan kekerasan oleh majikannya," ujar dia.
Staf LSM DAMAR, Sofian HD menuturkan Astuti diketahui memiliki tIga orang anak yang masih kecil-kecil usia sekolah namun saat ini sudah tidak ada yang bersekolah lagi.
"Sejak sekitar tiga bulan lalu, dia sudah berkirim surat kepada keluarganya menyampaikan kondisinya di sana, tapi sampai saat ini nasibnya masih belum jelas," ujar dia.
Informasi diperoleh, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Lampung telah menyerahkan penanganan kasus dialami Astuti itu kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Luar Negeri di Jakarta.
"Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus cepat mengambil langkah yang diperlukan. Jangan sampai pemerintah seolah lepas tangan atas nasib salah satu warganya itu," kata dia lagi.
Ikatan Pemuda Pemudi Peduli Layanan Publik (IPPLP) Bandarlampung melalui Kepala Bidang Advokasi Febrianda telah menyatakan kesanggupan untuk mendampingi Siti Aminah, orang tua Astuti mengurus kejelasan nasib anaknya itu.
IPPLP menyatakan sudah menelusuri proses pemberangkatan Astuti dan mengecek data di Loka Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (LP3TKI), termasuk melaporkannya kepada Wali Kota Bandarlampung Herman HN.
Ternyata nama Astuti tidak terdaftar, sehingga IPPLP menduga dia berangkat menjadi TKW ke Yordania melalui jalur tidak sah (ilegal).
IPLP lantas menelusuri pihak yang mengajak Astuti sehingga akhirnya berangkat ke Yordania, diperoleh fakta adanya L sebagai oknum yang diduga menjadi perantara mengurus keberangkatannya.
Menurut Febrianda, diduga Astuti telah menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking).
Selain mengabarkan bekerja dalam kondisi mengalami siksaan dari majikannya, Astuti juga diduga tidak menerima gaji sebagaimana mestinya.
Ibunya, Siti Aminah mengaku tak punya biaya untuk menjemput Astuti ke Yordania, sehingga berharap pemerintah dapat membantu memulangkan Astuti kembali ke Lampung.
Lampung Pemasok TKI/TKW
Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah sumber pengiriman TKI dan ke-6 yang terbesar (data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia/BNP2TKI) setelah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, dan Banten.
Padahal pengiriman TKI/TKW merupakan salah satu modus terbanyak dalam kasus perdagangan orang.
Menurut Direktur Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR Sely Fitriani, terdorong untuk memenuhi kebutuhan ekonomi diri dan keluarganya, Astuti akhirnya memilih bekerja di sektor informal dan terpaksa harus bekerja ke luar negeri sebagai tempat bekerja.
Harapannya, dia akan mendapatkan upah yang lebih tinggi, sehingga pemenuhan kebutuhan keluarga bisa tercukupi.
Namun, ujar Sely lagi, tekad itu justru dimanfaatkan oleh para calo di sekitar tempat korban tinggal dengan membujuk dan mempengaruhi korban untuk bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji tinggi, tempat kerja yang enak serta majikan yang baik.
Kenyataan kondisi tingkat pendidikan yang rendah dan akses informasi yang tidak dimiliki oleh korban, menurut dia, memudahkan para calo memperdayai korbannya.
"Dengan modal utang, korban meninggalkan kampungnya tanpa tahu tujuan yang pasti dan akan bekerja sebagai apa. Korban pun dibawa ke tempat penampungan sementara dan sudah lintas provinsi (Tangerang)," ujarnya pula.
Di tempat tersebut, korban dibuatkan identitas palsu untuk pembuatan dokumen-dokumen keberangkatan.
Sely juga menyatakan bahwa kondisi kemiskinan dan ketidaktahuan korban dimanfaatkan juga oleh Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) atau sekarang dikenal dengan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), yaitu PT Profilindo Adhi Perdana ditengarai untuk mencari keuntungan yang lebih besar.
Dia mengungkapkan, berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan, apa yang dialami korban bukanlah hanya sebatas persoalan sebagai buruh migran semata melainkan terindikasi telah terjadi kasus perdagangan orang/manusia.
Ia menyebutkan, telah terjadi perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, dengan cara penipuan, kebohongan (pemalsuan identitas), penyalahgunaan kekuasaan, posisi rentan atau memberi dan menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat meperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi.
Padahal, eksploitasi dalam bentuk-bentuk kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa merupakan perbudakan, katanya lagi.
Modus operandi yang digunakan untuk menjerat korban dengan cara bujuk rayu untuk menjadi pekerja rumah tangga/PRT/TKI di luar negeri, dengan jeratan utang dan menggunakan orang dekat dalam merekrut korban.
Perdagangan orang merupakan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Sely juga menilai, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) yang ada saat ini belum mampu memberikan perlindungan kepada tenaga kerja Indonesia di luar negeri karena aksi kekerasan dan tindakan yang merugikan TKI masih terus terjadi.
Dia juga menilai, lembaga-lembaga (BNP2TKI, lembaga pelatihan kerja, dll) yang dibentuk oleh UU 39 Tahun 2004 tidak mampu memberikan perlindungan kepada TKI.
Meskipun pemerintah sudah melakukan banyak hal terkait dengan perlindungan TKI terutama yang di luar negeri, namun tidak berdampak pada pengurangan kasus-kasus yang dialami mereka.
Para TKI itu justru sangat rentan menjadi korban perdagangan orang, justru para korbannya dikirim secara resmi oleh perusahaan jasa pengerah tenaga kerja (PJTKI).
Menurut Sely, konstruksi Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKLN juga memfasiltasi terjadinya perdagangan orang.
"Ada masalah besar dalam sistim manajemen migrasi tenaga kerja, yang disadari atau tidak itu telah memfasilitasi perdagangan orang karena UU No. 39 Tahun 2004 menempatkan dan memperlakukan TKI sebagai komoditas, didominasi urusan bisnis penempatan TKI dan condong lebih memilih pada kepentingan PJTKI," ujarnya lagi.
Karena itu, Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR bersama Ikatan Pemuda Pemudi Peduli Layanan Publik (IPPLP) dalam Jaringan Masyarakat Peduli Buruh Migran mendesak Pemprov Lampung segera melakukan upaya yang sistematis dan sinergis antara Disnakertrans Provinsi Lampung,
Kemenakertrans, BNP2TKI, Imigrasi, Kemenlu, Perwakilan Kedubes Indonesia di Yordania, dan berbagai pihak terkait lainnya, untuk mengambil langkah perlindungan, penanganan dan kepulangan korban Astuti dari Yordania sebagai wujud tanggung jawab negara terhadap warganya sesuai dengan mandat undang-undang.
Demi perbaikan pelayanan dan perlindungan buruh migran Indonesia, jaringan itu mendesak Pemprov Lampung melalui Disnakertrans melakukan upaya mengubah paradigma dalam Revisi UU 39/2004 PPTKILN yang masih menjerat buruh migran Indonesia dalam perbudakan modern, dan mewujudkan kebijakan perlindungan buruh migran yang mengedepankan hak asasi manusia .
Mereka mendesak pemerintah harus mengambil alih pendidikan dan pelatihan yang krusial untuk buruh migran agar pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada buruh migran itu benar-benar berkualitas, sesuai kebutuhan, bukan menjadi ruang eksploitasi terhadap buruh migran seperti yang selama ini terjadi.
Pemerintah tidak lagi menyerahkan tanggung jawab yang krusial tersebut kepada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), ujar Sely.
Para pekerja rumah tangga migran selama ini menjadi kelompok paling rentan terhadap kekerasan dan pelanggaran hak.
PPTKIS, katanya, turut memiliki andil dalam melakukan kekerasan dan pelanggaran hak tersebut, sehingga untuk PRT migran itu, seluruh proses migrasi, dari perekrutan, pendidikan, keberangkatan hingga bekerja di negara tujuan, harus difasilitaasi oleh pemerintah, tidak lagi diserahkan kepada PPTKIS, termasuk untuk PRT Migran.
Pemerintah daerah melalui Disnakertrans juga harus melakukan pengawasan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan kantor cabang PPTKIS di daerah bersangkutan.
"Perlu penyelenggaraan pelayanan satu atap untuk kebutuhan pra-penempatan dan purna-migrasi buruh migran," katanya lagi.
Pemerintah kelurahan/desa dapat diberi kewenangan dan berkomitmen dalam melakukan data migrasi di tingkat desa, termasuk memperkuat kerja sama lintas sektor dengan mengoptimalkan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan korban perdagangan orang.
Pihaknya juga minta Kepolisian Daerah Lampung melakukan penyidikan dan penyelidikan atas indikasi telah terjadi kasus perdagangan orang terhadap korban Astuti maupun korban TKI/TKW asal Lampung lainnya.
Sely juga mengingatkan agar Dinas Sosial Provinsi Lampung dapat melakukan pemberdayaan terhadap keluarga korban, dalam hal ini anak-anak korban sesuai mandat Konvensi PBB 1990 yang diratifikasi Indonesia pada 2012 untuk Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (melalui UU No. 6 Tahun 2012).
"Saat ini, ketiga anak Astuti putus sekolah dan membutuhkan rehabilitasi sosial," ujar Febrianda dari IPPLP pula.
Dia menegaskan, pemerintah harus bertanggungjawab, tidak bisa membiarkan begitu saja nasib warganya menjadi tersiksa di tempat bekerja mereka di luar negeri.
Hentikan praktik perdagangan perempuan Lampung
...Perlu kerja cepat pemerintah daerah dalam proses penanganan, perlindungan dan kepulangan korban dari Yordania. Korban tidak bisa dibiarkan sendiri dalam kondisi dieksploitasi...