Palembang (ANTARA Sumsel) - Papan nama kantor BP Migas Sumatera Selatan ditutupi kain putih pascapembubaran perusahaan BUMN tersebut oleh Mahkamah Konstitusi, namun aktivitas kerja karyawan tetap berjalan seperti biasa.
Salah seorang karyawan BP Migas Sumatera Selatan (Sumsel), Jhon ketika dimintai tanggapannya di Palembang, Rabu, mengatakan, sampai saat in mereka tetap bekerja seperti biasa meski papan merk nama kantor telah ditutupi dengan kain putih.
"Saya tetap membuat laporan-laporan administrasi meski telah ada keputusan pembubaran BP Migas dari Mahkamah Konstitusi," katanya.
Menurut dia, kebijakan pimpinan menutup papan nama kantor tersebut sebagai upaya menghormati putusan MK meski masih menunggu instruksi Presiden.
Sesuai dengan arahan pimpinan BP Migas kepada sekitar 30 orang karyawan di Sumsel tetap bekerja optimal.
Ia mengatakan, sebagian besar karyawan adalah ahli geolagi dan pertambangan yang hingga kini masih bekerja di lapangan.
Pihaknya juga berpikir positif bahwa kalaupun benar dibubarkan maka pemerintah pasti akan memberikan solusi bagi mereka.
"Sebenarnya tidak perlu ditakutkan karyawan BP Migas karena pasti ada solusi dari pemerintah, tetapi yang disayangkan nasib para petugas kebersihan dan penjaga keamanan yang akan merasakan dampaknya langsung atas pembubaran BP Migas," ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan, penjaga keamanan kantor yang beralamat di Jalan Demang Lebar Daun Palembang ini mengatakan masih menunggu kabar dari kantor pusat apa yang akan mereka hadapi.
Namun, ia berharap kalau memang benar-benar dibubarkan nasib mereka tetap diperhatikan pemerintah karena sulit mencari pekerjaan sekarang dengan keterampilan terbatas.
Sebelumnya, seperti yang dilansir www.antaranews.com salah satu penggugat UU Migas KH Hasyim Muzadi mengapresiasi putusan MK yang mencabut landasan keberadaan dan kewenangan Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Hasyim di Jakarta, Selasa (13/11), mengatakan semangat gugatan terhadap UU No. 22 Tahun 2001 yang antara lain mengatur pengelolaan minyak dan gas bumi oleh BP Migas, sebenarnya untuk mengembalikan kedaulatan negara dalam mengelola minyak dan gas buminya sendiri.
"Karena UU No. 22 Tahun 2001 tidak memungkinkan negara mengolah minyak mentahnya sendiri di dalam negeri, kemudian mengekspornya ke luar negeri," kata mantan Ketua Umum PBNU itu.
Kenyataan yang terjadi selama ini, kata dia, Indonesia hanya menjual minyak mentah kemudian diolah di luar negeri.
"Selanjutnya Indonesia membeli minyak tersebut yang sesungguhnya minyaknya sendiri dengan harga minyak dunia. Itu pun penjualan dan pembelian melalui perantara," kata Hasyim.
Menurut dia setiap ada kenaikan harga minyak dunia, Indonesia selalu mengalami kegoncangan.
"Dan karena dahsyatnya kegoncangan itu, di Indonesia berkali-kali harus terjadi aparat yang berhadapan dengan rakyatnya sendiri," kata Hasyim.
Padahal, lanjutnya, kalau minyak tersebut dikelola sendiri, dan Indonesia kembali menjadi negara pengekpor minyak, justru akan ada keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia.
Lebih lanjut Hasyim mengatakan, setelah keputusan MK, pemerintah harus bisa menyelesaikan persoalan tersebut dengan baik.
"Pengelolaan selanjutnya haruslah dapat menangkap semangat kemandirian dan tidak melakukan hal yang sama seperti nuansa UU 22 Tahun 2001 itu, tentu sambil menunggu proses lahirnya UU baru oleh parlemen," katanya.
Soal ikatan kontrak Indonesia dengan pihak asing, menurutnya, pemerintah mesti bisa menyelesaikan melalui aturan bisnis internasional.
Ia mengatakan, menurut penelitian sebagian peneliti ekonomi Universitas Indonesia (UI), tidak kurang dari 20 UU yang menyangkut kebutuhan vital rakyat banyak yang sangat pro asing.
"Misalnya soal tanah, air, dan kandungan bumi lainnya. Seakan penjajahan ekonomi telah disahkan oleh para wakil rakyat kita sendiri," tandasnya.
MK memutuskan pasal yang mengatur tentang tugas dan fungsi BP BP Migas dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak punya hukum mengikat.
"Seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD saat membacakan putusan pengujian UU Migas di Jakarta, Selasa.
MK juga menyatakan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 dalam UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (KR-NE)
(KR-NE/I016)
Berita Terkait
SKK Migas-Medco E&P dorong kemandirian masyarakat Muba melalui program PPM
Selasa, 17 Desember 2024 20:53 Wib
SKK Migas: Punya dana Rp46,8 triliun untuk eksplorasi migas
Selasa, 3 Desember 2024 14:23 Wib
Pertamina rampungkan Survei Seismik 2D di OKU Sumsel
Selasa, 5 November 2024 20:06 Wib
Hiswana: Agen LPG di Indonesia keluhkan kebijakan pajak
Kamis, 17 Oktober 2024 20:21 Wib
Kilang Pertamina Plaju raih Subroto Award 2024
Sabtu, 12 Oktober 2024 16:34 Wib
Kilang Plaju raih penghargaan Patra Nirbhaya Karya Utama Adinugraha
Kamis, 10 Oktober 2024 8:45 Wib
Pemkab Muba fasilitasi survei seismik 3D perkuat ketahanan energi
Rabu, 28 Agustus 2024 15:43 Wib
Hiswana Migas OKU Raya pastikan Si Melon tepat sasaran
Rabu, 26 Juni 2024 7:04 Wib