Jakarta (ANTARA) - Dunia sedang mengalami pergeseran geopolitik dan ekonomi yang luar biasa.
Di tengah tekanan inflasi, krisis energi, dan ketegangan antara negara-negara besar, kebijakan proteksionisme kembali muncul dalam bentuk perang dagang modern.
Amerika Serikat baru-baru ini memberlakukan tarif resiprokal terhadap semua mitra dagangnya, termasuk Indonesia dengan tarif sebesar 32 persen. Hal ini tidak hanya menjadi pukulan bagi neraca perdagangan, tetapi juga menjadi sinyal yang jelas bahwa kekuatan ekonomi di masa depan tidak lagi bergantung pada ekspor fisik saja, tetapi juga pada nilai tambah dari inovasi dan digitalisasi.
Alih-alih melihat kebijakan tarif sebagai batu sandungan, Indonesia harus menggunakannya sebagai momentum untuk bertransformasi. Ketika biaya logistik meningkat dan akses pasar menjadi lebih terbatas, saluran digital tetap terbuka lebar. Oleh karena itu, transformasi digital harus menjadi pilar utama dalam strategi ketahanan dan kedaulatan ekonomi nasional, bukan sekadar pelengkap modernisasi.
Tarif 32 persen yang dikenakan pada sejumlah komoditas unggulan Indonesia berdampak langsung pada sektor manufaktur, pertanian, dan logistik. UMKM yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional juga tertekan oleh lonjakan biaya produksi dan kesulitan mengakses pasar luar negeri.
World Integrated Trade Solution (WITS) memperkirakan bahwa setiap kenaikan tarif sebesar 10 persen dapat mengurangi volume ekspor sebesar 7 persen. Dalam konteks Indonesia, tarif sebesar 32 persen berarti potensi kerugian ekspor yang signifikan dan efek domino terhadap pendapatan negara, lapangan kerja, dan stabilitas makroekonomi.
Namun, justru di tengah tekanan inilah peluang muncul.
Dunia sedang memasuki fase penyeimbangan kembali di mana kekuatan ekonomi global tidak lagi semata-mata ditentukan oleh produksi fisik, tetapi oleh efisiensi, kreativitas, dan kecepatan inovasi melalui teknologi digital.
Solusi strategis dan adaptif
Digitalisasi industri dan rantai nilai bisa menjadi salah satu solusi strategis menghadapi masalah ini. Teknologi digital seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan big data dapat merevolusi proses produksi industri nasional, terutama manufaktur dan logistik. Dengan otomatisasi, efisiensi meningkat dan biaya operasional menurun.
Studi McKinsey Global Institute menunjukkan bahwa digitalisasi dapat meningkatkan produktivitas sektor manufaktur sebesar 25 persen. Blockchain memberikan transparansi dan kecepatan dalam rantai pasokan, bahkan lintas negara, mengurangi ketergantungan pada sistem konvensional yang rentan terguncang oleh kebijakan tarif.
Strategi selanjutnya adalah pemberdayaan UMKM melalui ekosistem digital. Transformasi digital memungkinkan UMKM untuk keluar dari keterbatasan pasar lokal dan menembus pasar global melalui e-commerce, pemasaran berbasis AI, dan pembayaran digital.
Laporan Google-Temasek-Bain 2023 memperkirakan bahwa ekonomi digital Indonesia akan mencapai 146 miliar dolar AS pada 2025. Dalam ekosistem ini, fintech dan pinjaman blockchain memfasilitasi akses keuangan untuk usaha kecil, yang secara struktural memperkuat daya saing mereka.
Digitalisasi nasional tidak akan berhasil tanpa infrastruktur yang solid. Indonesia harus mempercepat pembangunan jaringan serat optik, pusat data nasional, dan sistem cloud yang berdaulat.
Laporan Bank Dunia 2023 mencatat bahwa logistik digital dan regulasi yang cerdas dapat meningkatkan efisiensi perdagangan lintas batas sebesar 20 persen. Di saat yang sama, negara harus memastikan kedaulatan data dan keamanan siber untuk menjaga kepercayaan publik dan pelaku bisnis.
Transformasidigital, strategi bertahan di era perang dagang global

Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana. (ANTARA/HO-Kementerian Pariwisata)