Ray menyebutkan penelitian mereka menemukan bahwa 50 persen dari mereka mengalami overthinking, sementara 30 persen mengalami ruminasi yakni kebiasaan berpikir berulang tentang kejadian negatif pada masa lalu tanpa solusi.
"Sebanyak 19 persen responden memiliki pola pikir reflektif yang lebih sehat," katanya.
Dia menilai dampak dari overthinking tidak hanya terbatas pada kesehatan mental, tetapi juga memengaruhi produktivitas dan kualitas hidup. Mereka yang sering mengalami pola pikir negatif berulang cenderung lebih mudah mengalami stres, kecemasan, dan bahkan depresi.
Oleh karena itu sebagai langkah mitigasi, para peneliti merekomendasikan agar overthinking dijadikan sebagai indikator sosial dan kesehatan dalam kebijakan publik.
Selain itu, katanya, peningkatan literasi kesehatan mental serta penyampaian informasi kebijakan yang lebih humanis juga menjadi kunci dalam mengurangi kecemasan dan kekhawatiran berlebihan di masyarakat.
Menurutnya, faktor pemicu tingginya overthinking juga perlu dimitigasi secara sistemik oleh kebijakan publik di Indonesia, karena bagaimanapun faktor ekonomi, kesehatan, dan pemberitaan terkait konflik politik terbukti berhubungan langsung dengan tingginya angka overthinking pada orang Indonesia berdasarkan penelitian ini.
"Sehingga pemerintah juga perlu memastikan agar kestabilan sosio-politik dan ekonomi terjaga agar orang semakin tidak overthinking," katanya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: HCC: Pemerintah perlu tangani fenomena "overthinking" secara sistemik