Fenomena "jastip", pisau bermata dua perdagangan Indonesia

id jastip,jasa titip,perdagangan,impor,barang ilegal

Fenomena "jastip", pisau bermata dua perdagangan Indonesia

Ilustrasi - Penjaga stan menawarkan busana muslim kepada pengunjung. ANTARA FOTO/Andri Saputra/tom.

Mata pisau perdagangan

Fenomena jastip tumbuh seiring dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang kian berubah. Selain hadirnya belanja melalui situs resmi dan pasar dalam jaringan atau e-commerce, kini konsumen dihadapkan pada pilihan cara berbelanja lain, yakni melalui jastip.

Prinsip utama dalam berbelanja menggunakan jastip adalah kepercayaan. Prinsip ini juga yang membuat jastip membuat grup WhatsApp, di mana anggotanya mayoritas mengenal pelaku jastip, atau mendapat rekomendasi dari anggota lain di grup jastip tersebut.

Pelaku usaha jastip juga biasanya mengajak para calon konsumennya melalui media sosial dengan mencantumkan link yang akan terhubung langsung dengan grup di media sosial yang telah tersedia. Melalui grup tersebut, seorang jastip akan membagikan informasi soal barang yang sedang dijual setiap saat. Sesekali mereka juga melakukan "live shopping" melalui akun media sosial dan para konsumen dapat langsung menyampaikan minat untuk produk yang diinginkan.

Terdapat beberapa perbedaan antara belanja online dengan menggunakan jasa titip. Jika e-commerce menampilkan macam-macam produk dan konsumen tinggal memilih yang cocok, sementara untuk usaha jastip mereka bisa meminta produk yang diinginkan sejak awal, kemudian pelaku usaha akan mencarikan produk tersebut sampai dapat.

Adapun tarif untuk setiap jasa titip bervariasi, tergantung usaha untuk mendapatkan produk. Untuk produk lokal yang dibeli di Indonesia, para jastip biasanya mematok tarif Rp30.000 ke atas. Sementara untuk produk impor, tarif jasanya bisa sampai ratusan ribu untuk setiap produk.

Dengan modal ratusan juta hingga miliaran, tangan-tangan jastip kini berjasa dalam perdagangan produk-produk Indonesia. Namun di sisi lain, jastip juga berperan dalam maraknya produk-produk impor yang masuk ke tanah air tanpa bea masuk.

Produk impor yang masuk lewat koper-koper para jastiper tanpa bea masuk tersebut menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pengusaha ritel Indonesia. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) bahkan mengkritik keras fenomena tersebut.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah memperketat pengawasannya di pelabuhan, dengan menggandeng Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Untuk barang impor lewat jastip seharga 500 dolar AS atau lebih akan dikenakan pajak bea masuk.

Diharapkan kebijakan tersebut mampu membendung masuknya barang impor mewah dengan harga murah tersebut ke Indonesia secara ilegal. Jastip yang sedianya adalah Warga Negara Indonesia (WNI) boleh jadi hanya mengambil peluang usaha dari produk yang dijajakan di dalam maupun luar negeri.

Adapun konsumsi masyarakat Indonesia yang terbilang tinggi, menjadi gayung bersambut bagi para jastip untuk memasok berbagai produk yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Hal ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah, agar kebutuhan konsumsi masyarakat dapat ditangkap sebagai peluang untuk mendongkrak produk-produk nasional melalui tangan para jastip.

Ketika produk itu berasal dari luar negeri, seyogyanya masuk dengan cara yang baik dan memenuhi aturan. Dengan demikian, baik para jastipers maupun masyarakat Indonesia sama-sama saling diuntungkan.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Fenomena "jastip", pisau bermata dua perdagangan Indonesia