Jakarta (ANTARA) - Restorasi lahan gambut selama sepuluh tahun terakhir tidak membuahkan hasil yang memuaskan mengingat jutaan hektare areal mengalami kebakaran hebat, bahkan berulang terbakar hampir setiap tahunnya, kata Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia Greenpeace Kiki Taufik.
Kondisi tersebut diperparah dengan alih fungsi lahan, salah satunya untuk proyek lumbung pangan.
Indonesia menjadi negara dengan luas lahan gambut terbesar di dunia. Sayangnya, ekosistem yang harusnya menjadi penyeimbang alam dan penyimpan karbon terbesar, malah dirusak atas nama pembangunan berkelanjutan yang tertuang dalam dokumen Program Strategi Nasional.
"Luas areal terbakar di Indonesia tahun 2023 mencapai 2,13 juta hektare. Dari jumlah tersebut, 1,3 juta hektare merupakan area yang sebelumnya pernah terbakar sepanjang periode 2015-2022. Artinya, permasalahan lahan gambut ini belum tuntas dan malah memburuk," kata Kiki Taufik dalam keterangan di Jakarta, Kamis.
Dia melihat ada regulasi yang tidak konsisten dari pemerintah dan sering kali menguntungkan pihak perusahaan/swasta. Salah satu contohnya adalah kedalaman gambut yang kurang dari 3 meter boleh dimanfaatkan, padahal semua kondisi kedalaman gambut menyimpan risiko besar untuk terbakar, disamping penerbitan izin perusahaan tidak transparan.
Buruknya restorasi gambut sepanjang pemerintahan sebelumnya juga diungkapkan oleh Juru Kampanye Pantau Gambut Abil Salsabila yang menurutnya dari sedikitnya 4.000 hektare area ekstensifikasi lumbung pangan di eks-PLG seluruh Indonesia, semuanya terbengkalai. Ada temuan, di mana terjadi tumpang tindih antara area ekstensifikasi dengan konsesi sawit.
“Salah satu tantangan utama restorasi lahan gambut adalah keterbatasan data. Pemutihan lahan sawit oleh pemerintah semakin menunjukkan minimnya akses data dan informasi oleh publik. Untuk mewujudkan pemulihan yang utuh, ketersediaan data dan keterbukaan informasi adalah pondasi utama,” ucapnya.
Kepala Kelompok Kerja Teknik Restorasi, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Agus Yasin mengatakan pihaknya telah berupaya semaksimal mungkin selama 10 tahun terakhir. Namun, memang masih ada banyak hal yang harus dikerjakan ke depan, khususnya restorasi lahan gambut.
“Kami berharap kerja-kerja restorasi gambut akan terus mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk media dan Lembaga swadaya masyarakat. Tujuannya, agar program restorasi ini bisa terus berlanjut,” ucap Agus Yasin.
Pemanfaatan lahan gambut telah berjalan sejak era Presiden Soeharto, saat akan dimulainya proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sekitar tahun 1994.
Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menambah lahan pertanian di luar Jawa, sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan mencapai swasembada pangan. Proyek PLG tersebut akhirnya bertransformasi menjadi proyek lumbung pangan saat ini.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Greenpeace: Restorasi lahan gambut 10 tahun terakhir tidak memuaskan
Berita Terkait
Presiden tinjau lahan percontohan lumbung pangan di Merauke
Minggu, 3 November 2024 17:40 Wib
Dinas Pertanian optimalisasi lahan rawa di lima kabupaten
Rabu, 13 Maret 2024 17:06 Wib
Distan pastikan stok pupuk di OKU Timur aman selama musim tanam
Minggu, 10 Desember 2023 14:19 Wib
Pemkab OKU Timur optimalkan pemanfaatan rawa sebagai lahan pertanian baru
Kamis, 30 November 2023 22:15 Wib
Dirut PT Pusri dukung Sumsel jadi lumbung pangan nasional
Rabu, 15 November 2023 16:53 Wib
Kementan jadikan Sumsel lumbung pangan nasional
Selasa, 14 November 2023 20:55 Wib
Banyuasin peroleh kucuran dana Rp76 miliar untuk Program SIMURP
Minggu, 22 Oktober 2023 12:47 Wib
Inalum galakan UP2K di sentra cabai Kabupaten Batu Bara
Rabu, 18 Oktober 2023 16:15 Wib