Menjaga wibawa sarjana sebagai penentu kemajuan bangsa

id hari sarjana,acara wisuda, wisuda sarjana, wisudawan terbaik, hari sarjana nasional

Menjaga wibawa sarjana sebagai penentu kemajuan bangsa

Sarjana bukan sekadar tentang perolehan gelar dan hura-hura pesta wisuda, melainkan apa karya dan bakti setelahnya kepada negara. ANTARA/Sizuka.

Dari perbedaan pandangan antara generasi anak dan orang tua itulah perselisihan kerap tersulut. Orang tua dengan segenap cintanya pada anak-anak mengkhawatirkan masa depan mereka jika tanpa fondasi pendidikan. Sementara sang anak menganggap sikap mengikuti harapan orang tua sebagai sesuatu yang berlebihan. Karena, menurut mereka, ilmu bisa dicari di mana saja, tidak harus duduk bertahun-tahun di bangku kuliah. Begitu cara berpikir generasi penganut segala yang instan dan penyuka jalan pintas.

Bagaimana pun kampus adalah institusi pendidikan yang menerapkan kurikulum secara terprogram dengan pengampu mata kuliah para pengajar yang tentu saja berkompeten karena telah memenuhi kualifikasi tertentu dan terakreditasi, sehingga akan meluluskan seorang ahli.

 

Kecerdasan dan kebaikan

Ada orang tua dengan harta berkecukupan, memiliki keinginan kuat agar anaknya sekolah setinggi-tingginya, tapi obsesi itu tidak berbalas karena sang anak menyukai jalan lain untuk menggapai sukses, tanpa harus bersusah payah kuliah. Tidak jarang pula, mahasiswa yang sudah lolos perguruan tinggi negeri bergengsi, meninggalkan kuliahnya di tengah jalan hanya karena alasan tidak sesuai passion.

Pada bagian lain, ada anak yang begitu gigih ingin belajar di bangku pendidikan tinggi, tapi kondisi ekonomi orang tuanya tidak mendukung. Kuliah menjadi sesuatu yang sangat mewah untuk mereka perjuangkan.

Begitulah, setiap orang memiliki jalan terjalnya masing-masing. Ada yang berlimpah fasilitas, sayang tidak memiliki kemauan, sedangkan yang punya kemauan kuat tidak disertai kemampuan.

Dahulu, seorang anak selalu mengutamakan restu dan rida orang tua di atas segalanya, karena percaya hal itu akan mengantarkannya pada keberhasilan dan keberkahan. Bahkan, anak rela menjalani kuliah yang (mungkin) tidak sesuai dengan minatnya, ditekuninya hingga lulus, demi menyenangkan hati orang tua. Sebuah pengorbanan yang anak sekarang sudah enggan lakukan.

Keinginan dan keyakinan menjadi hal penting untuk diperjuangkan, dengan atau tanpa restu orang tua. Membantah nasihat orang tua, menurut anak kekinian, bukan berarti melawan, melainkan berargumen dalam konteks kebebasan berpendapat.

Nyatanya, orang-orang yang pada akhirnya meraih sukses gemilang biasanya memiliki kombinasi antara perjuangan keras, keikhlasan pada jalan terjal yang Tuhan berikan dan doa orang tua atau keluarga. Sungguh banyak contoh sebuah acara wisuda yang menghadirkan perasaan haru-biru karena wisudawan terbaik muncul dari kalangan pejuang kehidupan.

Seperti Raeni, penerima beasiswa Bidikmisi dari pemerintah, Jurusan Pendidikan Akuntansi Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Semarang (Unnes), menjadi wisudawan terbaik dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3,96, kala itu berangkat ke lokasi wisuda diantar ayahnya menggunakan becak. Putri Mugiyono seorang pengayuh becak itu kini memperoleh beasiswa S3 dari Universitas Birmingham, Inggris. Sebelumnya ia mendapat beasiswa S2 dari kampus yang sama.

Cerita lain datang dari Devy Ratriana Amiati, yang dinobatkan sebagai wisudawan terbaik Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya untuk jenjang magister, pada April lalu. Peraih nilai IPK sempurna 4,00 itu bersyukur karena rida orang tua, juga suaminya mengantarkan kesuksesan dirinya.

Terima kasih atas dukungan dan restu orang tua juga terucap dari wisudawan terbaik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada Juni lalu, Ari Putra. Mahasiswa kelahiran Bengkulu, 4 Oktober 1991, tersebut telah berhasil menyelesaikan program doktor (S3) Program Studi Pendidikan Masyarakat Fakultas Ilmu Pendidikan dalam waktu 2,5 tahun, dengan IPK sempurna 4,00.

Raeni, Devy dan Ari Putra adalah beberapa contoh sarjana membanggakan yang tetap menjunjung tinggi sikap patuhnya terhadap orang tua.

Para pribadi berprestasi yang rendah hati, dapat digadang-gadang sebagai pengabdi negeri yang mumpuni karena memiliki kebaikan dan kecerdasan asli, bukan buatan (artifisial).

Anak-anak muda, khususnya yang orang tuanya memiliki keberlimpahan finansial, perlu banyak belajar dari semangat sejumlah generasi muda dari keluarga kurang mampu, namun memiliki semangat untuk menempuh pendidikan tinggi. Menempuh pendidikan tinggi bukan sekadar untuk meraih ijazah, kemudian mencari pekerjaan. Lebih dari itu, pendidikan tinggi mengantarkan seseorang untuk memiliki sikap dan perilaku yang arif dan bijaksana menghadapi kehidupan.

 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menjaga wibawa sarjana sebagai penentu kemajuan bangsa