Kenaikan ini dapat meningkatkan risiko kemiskinan hingga 6 persen dan memperburuk kesejahteraan keluarga yang sudah rentan secara ekonomi.
Ketika anggaran rumah tangga dialokasikan lebih banyak untuk rokok, dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok seperti makanan bergizi, pendidikan, dan kesehatan justru terabaikan.
Dalam lingkup yang lebih luas, yakni perekonomian negara, beban biaya kesehatan pada penyakit yang disebabkan oleh rokok mencapai Rp27,7 triliun setiap tahunnya.
Angka ini mencakup biaya perawatan medis untuk berbagai penyakit akibat rokok, termasuk penyakit jantung, kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan lainnya.
Beban ini tidak hanya merugikan individu dan keluarga, tetapi juga sistem kesehatan nasional yang harus menanggung biaya perawatan, serta kehilangan produktivitas akibat penyakit-penyakit tersebut.
Untuk itu, sebagai upaya penanganan masalah tersebut, Aryana merekomendasikan implementasi kebijakan pengendalian konsumsi rokok MPOWER yang dibuat WHO.
M–monitoring tobacco use and prevention policies (memuat kebijakan pencegahan dan pemantauan penggunaan tembakau).
P–protecting people from tobacco smoke (melindungi masyarakat dari rokok).
O–offering help to quit tobacco use (menawarkan bantuan untuk berhenti menggunakan produk tembakau).
W–warning about the dangers of tobacco (peringatan tentang bahaya produk tembakau).
E–enforcing bans on tobacco advertising, promotion, and sponsorship (menegakkan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok).
R–raising taxes on tobacco (menaikkan pajak atas produk tembakau).
“Semua usaha, terutama yang berkaitan dengan non-harga, diatur dengan rencana untuk merevisi Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif, termasuk rokok," katanya.
Misalnya, meningkatkan peringatan bahaya rokok dari 50 persen menjadi 90 persen, serta membatasi iklan-iklan yang bertebaran di TV dan internet.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: UI: Risiko rokok elektrik dapat lebih tinggi dari rokok konvensional