JAKARTA (ANTARA) - Di dunia virtual banyak hal remeh-temeh, receh, dan tidak penting menjadi viral yang menyulut kehebohan nasional. Potret warganet yang menyukai konten receh berkolerasi dengan tingkat literasi mereka, selera yang mengantarkan para PKR (pembuat konten receh) menjadi selebritas medsos lalu menjadi tamu dan bintang media televisi yang turut merecehkan diri. Biar pun begitu, kabar baiknya mereka adalah warga yang mudah bahagia.
Ada seloroh yang mengatakan, ”Kalau mau viral dan terkenal, lakukanlah hal-hal bodoh, orang-orang suka itu”. Tinggi rendahnya selera tonton itu seperti tinggi rendahnya selera seni. Masyarakat rendah literasi menyenangi konten receh karena tidak perlu dicerna oleh otak.
Dalam pergaulan zaman sekarang dikenal istilah humor dolar dan humor receh. Humor dolar sebutan untuk orang yang tidak gampang tertawa terhadap lelucon garing. Sedangkan mereka yang gampang tertawa bahkan untuk suatu hal yang tidak lucu sekali pun disebut memiliki selera humor receh.
Setiap orang mempunyai selera humor yang berbeda, baik dalam melontarkan atau merespons dan menikmati humor. Selera itu terbentuk oleh sejumlah faktor beberapa di antaranya adalah pendidikan, kecerdasan, dan lingkungan pergaulan.
Pergaulan di jagat media sosial amatlah majemuk, sayangnya PKR dan penikmatnya malah melaju memimpin arus, sedangkan konten edukasi yang menginspirasi justru tenggelam oleh kehebohan hal-hal viral yang tak membawa kebermanfaatan. Bagaimana cara memahami situasi ini?
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang Achmad M. Masykur melihat kondisi masyarakat yang lelah--bukan cuma hayati yang lelah--membutuhkan hiburan segar untuk melepas penat dengan sesuatu yang easy listening, receh atau dia menyebutnya dengan istilah 'gak mbejaji’.
Akung, sapaan akrab mahasiswa Program Doktoral Psikologi Universitas Airlangga Surabaya itu lalu memberi contoh beberapa konten yang viral akhir-akhir ini seperti “begitu syulit lupakan Rehan”, “to ganjel to”, dan yang terbaru “bercyandya” dari mahasiswa baru UGM Yogyakarta. Ketika ada sesuatu yang viral, warganet bergegas mencari tahu lalu mengimitasinya karena mereka tidak mau dianggap kurang up date (kudet), perilaku itu akan membantu efek viral.
Belum lagi eksposur masif karena setting algoritma medsos, yang mencekoki warganet dengan konten itu lagi dan itu lagi yang selalu mampir ke lini masa atau timeline. Walau begitu warganet bisa mengontrol setiap stimulus yang intens muncul itu dengan tindakan menghentikan atau justru meneruskan yang akan membuat sebuah konten semakin viral.
Bila menggunakan standar dan tolok ukur bahwa semua konten di ranah publik mestinya terhubung dengan peradaban yang baik, bermanfaat, berguna, serta penuh keadaban, maka popularitas konten receh barangkali menjadi indikasi ada yang salah dari selera canda kita.
Sebagai contoh viralnya Odading Mang Oleh yang menggunakan kata anying, dari kata dasar anjing, yang sesungguhnya adalah umpatan yang buruk.
“Di sinilah kita boleh khawatir, ketika ia hadir masif justru menjadi pembenaran atas suatu hal yang sesungguhnya menyalahi nilai-nilai yang sudah ada,” kata Akung.
Menjadikan konten receh sekadar sebagai sebuah hiburan, menurutnya tidak masalah, tetapi kalau dosisnya kelewatan, berlebihan, dan tidak diaplikasikan secara tepat, ini berpotensi menjadi gangguan psikologis. Atau setidaknya, mengganggu dalam relasi interpersonal.