AJI Palembang buka layanan aduan ketenagakerjaan jurnalis
Palembang, Sumatera Selatan (ANTARA) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palembang, Sumatera Selatan membuka layanan pengaduan ketenagakerjaan untuk jurnalis di daerah setempat yang hak upahnya belum dipenuhi secara utuh perusahaan media.
"Bagi jurnalis yang mengalami masalah tersebut dapat mengadukannya melalui laman internet ajipalembang.id dengan mengisi data yang diminta," kata Ketua AJI Palembang Fajar Wiko, dalam keterangan resminya di Palembang, Minggu.
Sebagai bentuk program kerja yang kontinu
bidang Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Palembang siap menampung semua masalah yang diadukan jurnalis.
Kemudian permasalahan itu disalurkan bersama Dinas Ketenagakerjaan atau instansi terkait kepada perusahaan media yang memperkerjakan jurnalis.
Layanan pengaduan ini terbuka untuk para jurnalis baik yang bekerja untuk perusahaan televisi, radio, koran, majalah, daring dan atau media massa lain yang memproduksi karya jurnalistik.
Fasilitasi pengaduan tersebut dipandang sebagai langkah tegas Aji Palembang untuk mengusut tuntas masalah hak upah jurnalis hingga mencapai kesejahteraan hidup, kata dia.
Menurut dia, banyak ditemukan rekan-rekan kerja di lapangan, khususnya wilayah Sumatera Selatan mengalami intimidasi, ancaman, terkhusus upah yang tak sesuai hingga tunjangan hari raya belum atau bahkan tidak diberikan berkaca dari tahun sebelumnya.
Kondisi demikian tentu selain mempengaruhi kesejahteraan jurnalis juga memberangus etos kebebasan pers yang diamanatkan Undang-udang nomor 40 Tahun 1999.
Maka dari itu, dia menjelaskan, kondisi tersebut menjadi perhatian besar bagi AJI Palembang, sebagai wadah yang menaungi jurnalis andal, progresif dan berkeadilan.
Berangkat dari masalah yang terjadi, AJI Palembang juga sudah mengadakan diskusi mendalam bersama organisasi jurnalis dan lembaga ketenagakerjaan pemerintah untuk memperjuangkan kesejahteraan jurnalis di Sumatera Selatan.
Gerakan yang diprakarsai Aji Palembang mendapat dukungan pula oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan PFI kota setempat untuk diselesaikan karena menjadi persoalan yang "umum".
Ketua AMSI Sumatera Selatan Sidratul Muntaha mengatakan jurnalistik adalah profesi yang sangat unik karena ketika dibayar upah kecil tetap saja mau bekerja menciptakan karya terbaiknya.
Terlepas dari etos kerja itu, menurutnya, perusahaan media seharusnya bertanggungjawab penuh terkait persoalan kesejahteraan jurnalis dan itu harus dibangunkan melalui gerakan advokasi AJI.
Hal itu dikarenakan tidak bisa dipungkiri jurnalis adalah tulang punggung perusahaan media hingga tetap eksis, sehingga harus ada timbal balik kesejahteraan (jaminan keselamatan kerja, THR dan insentif lainnya), kata dia.
Sementara itu, Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI)Palembang Muhammad Atta mengatakan pemenuhan upah secara utuh juga menjadi sorotan organisasinya.
Pihaknya menemukan banyak pewarta foto di Sumatera Selatan berstatus sebagai kontributor atau pekerja harian lepas.
Hal yang dipandang minor dibalik status kontributor menyangkut kepastian nilai upah.
Sebab untuk diketahui seorang kontributor akan mendapat upah berdasarkan total karya yang dihasilkan.
"Meskipun memang secara teknis kerja kontributor tergantung media yang menghimpun. Namun harus ada kepastian, jangan sampai ketika masalah terjadi saat peliputan, kerap kali perusahaan media lepas tangan dengan permasalahan tersebut lalu diambil alih oleh organisasi jurnalis," kata dia.
Atta berharap gerakan advokasi membuka layanan aduan kesejahteraan jurnalis bisa membantu para pekerja jurnalistik menyelesaikan permasalahannya.
"Bagi jurnalis yang mengalami masalah tersebut dapat mengadukannya melalui laman internet ajipalembang.id dengan mengisi data yang diminta," kata Ketua AJI Palembang Fajar Wiko, dalam keterangan resminya di Palembang, Minggu.
Sebagai bentuk program kerja yang kontinu
bidang Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan AJI Palembang siap menampung semua masalah yang diadukan jurnalis.
Kemudian permasalahan itu disalurkan bersama Dinas Ketenagakerjaan atau instansi terkait kepada perusahaan media yang memperkerjakan jurnalis.
Layanan pengaduan ini terbuka untuk para jurnalis baik yang bekerja untuk perusahaan televisi, radio, koran, majalah, daring dan atau media massa lain yang memproduksi karya jurnalistik.
Fasilitasi pengaduan tersebut dipandang sebagai langkah tegas Aji Palembang untuk mengusut tuntas masalah hak upah jurnalis hingga mencapai kesejahteraan hidup, kata dia.
Menurut dia, banyak ditemukan rekan-rekan kerja di lapangan, khususnya wilayah Sumatera Selatan mengalami intimidasi, ancaman, terkhusus upah yang tak sesuai hingga tunjangan hari raya belum atau bahkan tidak diberikan berkaca dari tahun sebelumnya.
Kondisi demikian tentu selain mempengaruhi kesejahteraan jurnalis juga memberangus etos kebebasan pers yang diamanatkan Undang-udang nomor 40 Tahun 1999.
Maka dari itu, dia menjelaskan, kondisi tersebut menjadi perhatian besar bagi AJI Palembang, sebagai wadah yang menaungi jurnalis andal, progresif dan berkeadilan.
Berangkat dari masalah yang terjadi, AJI Palembang juga sudah mengadakan diskusi mendalam bersama organisasi jurnalis dan lembaga ketenagakerjaan pemerintah untuk memperjuangkan kesejahteraan jurnalis di Sumatera Selatan.
Gerakan yang diprakarsai Aji Palembang mendapat dukungan pula oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan PFI kota setempat untuk diselesaikan karena menjadi persoalan yang "umum".
Ketua AMSI Sumatera Selatan Sidratul Muntaha mengatakan jurnalistik adalah profesi yang sangat unik karena ketika dibayar upah kecil tetap saja mau bekerja menciptakan karya terbaiknya.
Terlepas dari etos kerja itu, menurutnya, perusahaan media seharusnya bertanggungjawab penuh terkait persoalan kesejahteraan jurnalis dan itu harus dibangunkan melalui gerakan advokasi AJI.
Hal itu dikarenakan tidak bisa dipungkiri jurnalis adalah tulang punggung perusahaan media hingga tetap eksis, sehingga harus ada timbal balik kesejahteraan (jaminan keselamatan kerja, THR dan insentif lainnya), kata dia.
Sementara itu, Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI)Palembang Muhammad Atta mengatakan pemenuhan upah secara utuh juga menjadi sorotan organisasinya.
Pihaknya menemukan banyak pewarta foto di Sumatera Selatan berstatus sebagai kontributor atau pekerja harian lepas.
Hal yang dipandang minor dibalik status kontributor menyangkut kepastian nilai upah.
Sebab untuk diketahui seorang kontributor akan mendapat upah berdasarkan total karya yang dihasilkan.
"Meskipun memang secara teknis kerja kontributor tergantung media yang menghimpun. Namun harus ada kepastian, jangan sampai ketika masalah terjadi saat peliputan, kerap kali perusahaan media lepas tangan dengan permasalahan tersebut lalu diambil alih oleh organisasi jurnalis," kata dia.
Atta berharap gerakan advokasi membuka layanan aduan kesejahteraan jurnalis bisa membantu para pekerja jurnalistik menyelesaikan permasalahannya.