Oleh karena itu, pengendalian perubahan iklim mutlak dilakukan oleh semua pihak. Provinsi Jambi, misalnya, bisa ambil bagian pengendalian perubahan iklim dengan pemulihan hutan dan mempertahankan lahan gambut.
Kawasan hutan yang sudah terdegradasi harus segera ditumbuhkan kembali dengan berbagai upaya reforestasi. Degradasi lahan gambut pun harus dicegah, begitu pula kebakaran di lahan ini.
Terdapat tiga Kabupaten di Provinsi Jambi yang memiliki lahan gambut yaitu Muara Jambi, Tanjungjabung Barat, dan Tanjungjabung Timur dengan luas lebih dari 700 ribu hektare (ha).
Lahan gambut memang rawan dilanda kebakaran. Pengalaman menunjukkan pada setiap musim kemarau panjang, kebakaran hampir bisa dipastikan terjadi, misalnya, pada 2015 dan 2019, gambut di Jambi dilahap api.
Pada tahun ini BMKG bahwa Indonesia akan memasuki fenomena El Nino, yang puncaknya diperkirakan akan terjadi Agustus-September 2023. Ini harus menjadi perhatian semua pihak untuk mencegah kebakaran gambut.
Kebakaran lahan gambut disebabkan oleh pengelolaan gambut yang belum sepenuhnya memperhatikan karakteristik kawasan berbahan organik tinggi itu. Kanalisasi yang dibangun untuk menurunkan muka air gambut sehingga bisa ditanami dengan tanaman, tidak adaptif terhadap kondisi gambut, seperti akasia dan sawit menjadi pangkal mula bencana gambut.
Dari data perizinan, hutan tanaman yang berada di lahan gambut tercatat 61.085 ha. Dari luas ini, 16.013 ha di antaranya merupakan lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 4 meter atau terkategori gambut sangat dalam.
Sementara itu, kawasan perkebunan di lahan gambut seluas 320.132 ha, 43.808 ha di antaranya berada di kawasan gambut sangat dalam atau lebih dari 4 meter.
"Gambut kerap menjadi sorotan, di musim kemarau panjang dan gambut seolah menjadi tertuduh terbakar, sehingga menimbulkan kabut asap parah sekaligus menyumbang emisi karbon," kata Direktur Komunitas Konservasi Indonesia atau KKI Warsi, Adi Junedi.
Kebijakan pengelolaan gambut disebut sudah cukup memadai, tinggal bagaimana komitmen semua pihak untuk mematuhi aturan dan menjalankannya. Misalnya, pembangunan sekat kanal yang menjadi wajib untuk mencegah hilangnya air gambut. Kemudian mengembalikan gambut ke dalam fungsi lindungnya.
Bagi masyarakat yang berada di lahan gambut, peran utamanya adalah mengelola gambut secara berkelanjutan, sesuai dengan kebijakan dan rencana aksi yang sudah disepakati bersama, seperti melakukan revegetasi gambut dengan menanam tanaman yang adaptif dengan kawasan gambut.
Selain itu, masyarakat juga mengolah produk yang berbasis potensi kawasan gambut seperti, madu, kopi liberika, ikan toman, dan tanaman agroforestry. Secara keseluruhan, melindungi lahan gambut di Jambi adalah tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, dan industri.
Dengan bekerja sama dan mengambil tindakan yang tepat, lahan gambut tetap bisa dilestarikan untuk generasi selanjutnya. Pihaknya sudah membangun model kelola gambut dan upaya peningkatan ekonomi masyarakat berbasis potensi. Kegiatan ini sudah berjalan dan memberikan dampak baik untuk ekonomi dan ekosistem gambut.
Di tataran lokal, misalnya, di Kabupaten Tanjungjabung Timur sudah terbentuk Forum Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Gambut Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yang beranggotakan organisasi perangkat daerah, pihak swasta, dan organisasi sipil yang bergiat di gambut.
“Forum ini telah selesai menyusun rencana aksi, pengelolaan gambut berkelanjutan, tinggal ke depan kita sama-sama untuk mengawalnya, sehingga forum bisa menjalankan rencana aksinya dan berkontribusi pada pemulihan gambut,” kata Ade Candra, Anggota Forum Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Gambut.
Di level reginoal, Pemerintah Provinsi Jambi, tengah bergiat untuk menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG). RPPEG merupakan dokumen perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah ekosistem gambut, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
Saat ini Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi sedang menyiapkan dokumen ini, yang nantinya menjadi Keputusan Gubernur Jambi. Dokumen ini memuat rencana pengelolaan gambut, termasuk upaya pencegahan kebakaran.
Gubernur Jambi Al Haris menyebutkan pihaknya telah menyiagakan semua unit kerja untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Hal ini penting, sebab gambut sekali terbakar akan sangat sulit untuk dipadamkan.
“Kita berupaya untuk tidak ada lagi kebakaran hutan, jangan sampai terbakar,” kata Al Haris.
Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya merusak ekosistem gambut, namun juga berdampak pada banyak sektor.
Berdasarkan studi valuasi dampak kebakaran yang dilakukan KKI Warsi dengan Institut Pertanian Bogor pada 2015, potensi kebakaran di areal perkebunan dan hutan tanaman gambut di tiga kabupaten, Tanjungjabung Barat, Tanjungjabung Timur, dan Muarojambi dengan total luasan mencapai 71,3 persen dari keseluruhan potensi kebakaran di lahan gambut di tiga kabupaten tersebut.
Potensi kebakaran di perkebunan mencapai luasan 49.485 ha atau 45,7 persen dari seluruh potensi kebakaran di areal gambut di tiga kabupaten, sedangkan potensi kebakaran di hutan tanaman seluas 27.740,2 ha atau 25,6 persen.
Dari hitungan yang dilakukan tim studi valuasi, kerugian nilai ekonomi dampak kebakaran gambut diperkirakan mencapai Rp19,064 triliun untuk tiga kabupaten bergambut di Provinsi Jambi. Kebakaran itu tidak hanya merugikan secara ekonomi, namun juga menghasilkan emisi yang sangat besar.
Kehilangan keragaman hayati
Menurut Akademisi Institut Pertanian Prof. Bambang Hero Suharjo, kebakaran lahan gambut menghasilkan emisi karbon berlipat-lipat. Pada kebakaran 2019, misalnya, Jambi menghasilkan emisi ekuivalen sebesar 29.884.752 ton CO2.
Karakteristik lahan gambut, sekali terbakar akan sangat sulit untuk dikendalikan, bahkan ketika di permukaan sudah terlihat tidak ada api, di bawah gambut masih memperlihatkan jalaran api yang terus berkobar.
"Tidak ada upaya pemadaman yang efektif kalau sudah terjadi kebakaran gambut," kata Bambang Hero.
Kerugian paling parah lainnya adalah kehilangan keragaman hayati penting. Desa Jambi Tulo, Muara Jambi, misalnya, kehilangan keanekaragaman anggrek, yang dulu hidup di hutan Pematang Damar.
Hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat Jambi Tulo itu berubah fungsi menjadi kebun sawit setelah kebakaran hebat tahun 2015. Kesedihan kehilangan hutan ini dituangkan masyarakat Jambi Tulo dalam bentuk senandung Pematang Damar oleh Kelompok Kesenian Gambang Jambi Tulo.
“Jadi, mencegah kebakaran gambut akan sangat berkontribusi pada upaya mencapai target Indonesia menurunkan emisi dan menyerap emisi dengan kemampuan sendiri, FOLU Net Sink 2030,” kata Bambang.
Sementara itu, Huda Achani dari Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut KLHK, menyebutkan pengelolaan ekosistem gambut dalam kerangka FOLU Net Sink 2030 bertujuan untuk menurunkan emisi dari dekomposisi dan kebakaran lahan gambut melalui restorasi dan perbaikan tata air.
FOLU Net Sink 2030 merupakan kondisi yang ingin dicapai melalui penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan dengan kondisi di mana tingkat serapan sama atau lebih tinggi dari tingkat emisi.
Sasaran yang akan dicapai adalah tingkat emisi gas rumah kaca ekuivalen sebesar 140 juta ton CO2 pada tahun 2030.
Untuk mewujudkan ini, komitmen dan pengawalan kebijakan pengelolaan gambut harus dilakukan dengan baik, dengan meningkatkan upaya di tingkat tapak untuk pemulihan gambut, di antaranya melalui pengelolaan gambut berkelanjutan dan pengembangan usaha gambut berbasis potensi.
Tidak kalah penting adalah upaya berkelanjutan menyadarkan masyarakat, meningkatkan patroli hutan, dukungan pendanaan, dan penegakan hukum yang adil untuk ekologi bagi masyarakat terdampak.
Ikhtiar menjaga lahan gambut dilakukan agar penduduk Bumi tidak kalang kabut dalam mengendalikan perubahan iklim.