Jakarta (ANTARA) - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri kembali melimpahkan tahap I berkas perkara tambang ilegal di Kalimantan Timur, Selasa, dengan tersangka Ismail Bolong dan dua lainnya kepada jaksa penuntut umum (JPU).
"Hari Selasa, tanggal 10 Januari 2023, penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri akan mengirimkan kembali berkas perkara tersangka IB," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan di Jakarta, Selasa.
Ramadhan menjelaskan penyidik telah melengkapi berkas perkara tersebut sesuai petunjuk JPU.
Pelimpahan itu dilakukan setelah jaksa peneliti mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena belum lengkap (P-19) pada 27 Desember 2022.
"Berkas perkara sudah dilengkapi sesuai dengan petunjuk dari jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung," tambahnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidsus) Kejaksaan Agung telah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari Penyidik Dittipidter Bareskrim Polri tanggal 23 November 2022.
Perkara tindak pidana tersebut berupa penambangan ilegal batu bara yang tidak berasal dari pemegang izin usaha penambangan (IUP) dengan tersangka Ismail Bolong (IB), Budi Prayugo (BP), dan Rinto Paluna (RP).
Kejagung menunjuk enam orang JPU untuk mempelajari berkas perkara. Lalu, pada 16 Desember, JPU menerima pelimpahan berkas perkara (tahap I).
Selanjutnya, pada 20 Desember 2022, jaksa peneliti menyampaikan bahwa berkas perkara ketiga tersangka dinyatakan belum lengkap.
Dalam rilis Kejaksaan Agung, Ismail Bolong dan dua orang rekannya ditetapkan sebagai tersangka penambangan tanpa izin di Kalimantan Timur. Ketiganya disangkakan dengan Pasal 161 Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.
Sementara itu, berdasarkan rilis dari Divisi Humas Polri, ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 158 dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang pertambangan mineral dan batu bara dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Penyidik juga menjerat tersangka dengan Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang penyertaan.