BKKBN catat angka stunting di Sumsel capai 24,8 persen

id BKKBN,Stunting

BKKBN catat angka stunting di Sumsel capai 24,8 persen

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo saat memberikan kata sambutan di Desa Tabuan Asri, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin (11/4/2022). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

Berdasarkan Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota tahun 2021, angka stunting di Sumatera Selatan masih berada di angka 24,8 persen
Banyuasin (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan angka prevalensi kekerdilan atau stunting yang terjadi pada anak di Provinsi Sumatera Selatan mencapai 24,8 persen.

“Berdasarkan Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota tahun 2021, angka stunting di Sumatera Selatan masih berada di angka 24,8 persen,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo di Desa Tabuan Asri, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin.

Hasto menuturkan angka tersebut masih jauh dari target nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2024 yakni sebesar 14 persen.

Baca juga: Pemkot Palembang optimalkan upaya pencegahan anak stunting

Sumatera Selatan, bahkan memiliki dua kabupaten/kota yang masuk dalam kategori merah atau memiliki angka prevalensi di atas 30 persen, salah satunya adalah Kabupaten Ogan Komering Ilir 32,2 persen.

Sementara untuk Kabupaten Banyuasin masuk ke dalam kategori kuning karena memiliki angka prevalensi 22,0 persen.

Hasto menyebutkan kekerdilan masih terjadi di Indonesia karena terdapat sebesar 36,3 persen remaja putri usia 15-19 tahun berisiko mengalami kurang energi kronik (KEK). Sementara KEK pada wanita usia subur usia 15-49 tahun sebesar 33,5 persen.

"Selain itu, sebesar 37,1 persen perempuan di Indonesia juga terkena anemia, salah satu indikator penyebab kekerdilan pada anak," katanya.

Oleh karena itu, pemberian pendampingan kepada para calon pengantin (catin) atau calon pasangan usia subur (PUS) sangat penting dalam mencegah terjadinya kekurangan energi kronik dan anemia.

Baca juga: BKKBN dorong konsumsi susu berkualitas untuk tekan stunting

“Harapannya faktor risiko yang dapat melahirkan bayi stunting pada catin atau PUS dapat teridentifikasi dan dihilangkan sebelum menikah dan hamil,” ucap Hasto.

Program wajib pendampingan, konseling, dan pemeriksaan kesehatan pada calon pengantin yang dilakukan tiga bulan sebelum menikah, juga perlu diperkuat untuk memastikan setiap calon orang tua berada dalam kondisi ideal untuk menikah dan hamil.

Pemeriksaan kesehatan, kata dia, meliputi pemeriksaan tinggi badan, berat badan, lingkar lengan atas dan cek hemoglobin (Hb) dalam darah.

Di sisi lain guna menjalankan program tersebut, BKKBN telah menyebarkan Tim Pendamping Keluarga (TPK), di mana satu tim terdiri dari bidan, kader PKK, dan kader KB. Dengan total sebanyak 200 tim atau setara dengan 600 ribu orang ke seluruh penjuru negeri.
 

Hasto menekankan untuk menurunkan angka prevalensi kekerdilan tidak bisa hanya memperkuat sinergitas dan kolaborasi seluruh pihak saja.

Berbagai program yang telah dirancang dengan baik, harus benar-benar diimplementasikan di lapangan dan disosialisasikan dengan gencar.

“Program ini perlu disosialisasikan dan ditindaklanjuti di level lapangan”, ujar dia.
Baca juga: Wapres: Percepatan penurunan angka stunting perlu komitmen bersama