"AJI meminta Komisi Yudisial melakukan pengawasan selama proses persidangan agar transparan dan berkeadilan," kata Sasmito dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa pagi.
Sasmito menyatakan kasus kekerasan terhadap Nurhadi dengan dua terdakwa anggota kepolisian, yakni Bripka Purwanto dan Brigadir Muhammad Firman Subkhi, telah dibawa ke meja hijau. Proses persidangan tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya.
Ia berharap proses peradilan perkara tersebut memberikan rasa keadilan bagi korban karena kasus tersebut telah mencederai demokrasi dan kebebasan pers di Tanah Air.
Hal itu juga disampaikan Sasmito saat bertemu anggota KY Sukma Violetta yang membahas kasus penganiayaan yang menimpa jurnalis Tempo Nurhadi di Surabaya pada tanggal 27 Maret lalu.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Erick Tanjung mempertanyakan keputusan majelis hakim PN Surabaya yang tidak menahan kedua terdakwa.
"Tanpa penahanan, kedua terdakwa menjadi ancaman bagi korban, mengingat korban mengalami trauma atas penganiayaan tersebut. Di samping itu, Nurhadi hingga saat ini masih dalam pengawasan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)," kata Erick menegaskan.
Erick menjelaskan sejak penyidikan di Polda Jawa Timur, kedua pelaku tidak pernah ditahan. Mereka juga tidak pernah diberi sanksi di internal kepolisian. Begitu pula saat perkara dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, sampai saat ini Purwanto dan Firman bebas berkeliaran sebagai seorang terdakwa.
"Kami sangat menyesalkan keputusan majelis hakim yang tidak menahan kedua pelaku," ujar Erick.
Merespons persoalan itu, Sukma Violetta sebagai anggota KY mengatakan bahwa pihaknya telah menerima pengaduan AJI dan akan terus melakukan pemantauan proses persidangan perkara kekerasan jurnalis Nurhadi.
"KY sesuai dengan kewenangannya menerima pengaduan dari masyarakat untuk melakukan pemantauan proses peradilan, terutama perkara-perkara yang mempunyai dampak besar terhadap masyarakat. Kalau wartawan saja diperlakukan seperti itu, bagaimana dengan warga biasa?" kata Sukma.
Sukma mengatakan bahwa pihaknya akan memantau proses persidangan perkara kekerasan jurnalis tersebut dalam rangka menjaga independensi hakim dalam memeriksa dan memutus.
Ia membuka pintu jika dalam proses persidangan dinilai diskriminatif terhadap korban. Bila ditemukan pelanggaran selama proses persidangan, KY berwenang untuk memeriksa hakim.
"Jika nanti selesai persidangan dirasa prosesnya diskriminatif, bisa adukan kepada kami. Misalnya, korban dikecilkan perannya, tidak dihargai kesaksiannya, dibentak-bentak, dan sebagainya, itu juga bisa dilaporkan ke KY. Kami akan memeriksa hakimnya sesuai dengan mekanisme yang ada," kata Sukma menegaskan.
Nurhadi menjadi korban penganiayaan saat melakukan reportase di Gedung Samudra Bumimoro, Sabtu (27/3/2021) malam. Di sana, Nurhadi berencana meminta keterangan terkait dengan kasus dugaan suap yang dilakukan oleh bekas Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu Angin Prayitno Aji yang sedang ditangani KPK.
Pada saat itu di lokasi sedang berlangsung pernikahan antara anak Angin Prayitno Aji dan putri Kombes Pol. Achmad Yani, mantan Karo Perencanaan Polda Jatim.
Dalam peristiwa tersebut, Nurhadi tidak hanya dianiaya oleh para pelaku yang berjumlah sekitar 10 sampai 15 orang, tetapi pelaku juga merusak SIM card di ponsel milik Nurhadi serta menghapus seluruh data dan dokumen yang tersimpan di ponsel tersebut.
Dua polisi tersangka kasus penganiayaan jurnalis Tempo di Surabaya, Nurhadi, telah menjalani sidang perdana pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (22/9).
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum (JPU) Kejati Jatim Winarko mendakwa kedua polisi itu dengan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Selain itu, dua polisi ini juga didakwa dengan tiga alternatif pasal lainnya, yakni Pasal 170 ayat (1) KUHP tentang pengeroyokan juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP, Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan jo. Pasal 55 ayat (1). Keempat, Pasal 335 ayat (1) tentang perbuatan tidak menyenangkan jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.