Peneliti: Hilangnya biodiversitas lebih cepat dari penemuan spesies

id BRIN,keanekaragaman hayati,penemuan spesies,spesies baru

Peneliti: Hilangnya biodiversitas lebih  cepat dari penemuan spesies

Peneliti bidang herpetologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Amir Hamidy menunjukkan tiga spesies baru kodok wayang yang ditemukan di hutan dataran tinggi Sumatera, yaitu Sigalegalephrynus gayoluesensis dari Gayo Lues, Aceh; Sigalegalephrynus burnitelongensis dari gunung Burni Telong, Aceh yang ditemukan di daerah utara Sumatera; dan Sigalegalephrynus harveyi yang berasal dari gunung Dempo, Sumatera Selatan. Penemuan baru itu disampaikan dalam pertemuan dengan awak media di Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, Jawa Barat, Selasa (08/10/2019). (ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak)

Jakarta (ANTARA) - Peneliti dari Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati (OR IPH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amir Hamidy mengatakan kemungkinan besar laju kerusakan atau kehilangan keanekaragaman hayati atau biodiversitas lebih cepat dibanding penemuan spesies baru.

"Saya itu hanya kuatir hilangnya hutan kita sebegitu masifnya, mengakibatkan kita kehilangan spesies-spesies yang bahkan belum kita ketahui," kata Amir saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.

Ia menuturkan masifnya perubahan atau alih fungsi hutan menjadi, misalnya lahan pertanian dan lahan tambang menyebabkan laju hilangnya keanekaragaman hayati semakin meningkat.

"Apalagi kalau nanti spesiesnya belum diberi nama, sudah punah duluan," ujar peneliti herpetologi itu.

Amir mengatakan hilangnya keanekaragaman hayati bukan hanya terkait spesies-spesies karismatik seperti gajah dan harimau, tapi juga spesies-spesies kecil yang sesungguhnya jauh lebih rentan untuk kehilangan habitat dan mengalami kepunahan seperti katak kecil bermulut sempit yang hanya bergerak di area yang lebih terbatas.

Kehilangan keanekaragaman hayati itu antara lain punahnya spesies yang sudah teridentifikasi atau yang belum diketahui sama sekali, dan belum sempat mengeksplorasi potensi yang dimiliki spesies tersebut untuk keberlanjutan lingkungan dan pemanfaatan hayati atau bioprospeksi.

"Harus dijaga jangan sampai jenis yang belum diketahui, belum dinamai, belum diketahui potensinya itu sudah punah duluan," tutur Amir.

Ia mengatakan penambahan jenis baru terus bertambah dari waktu ke waktu di alam, sehingga perlu percepatan identifikasi spesies tersebut.

Namun sayangnya, perusakan dan alih fungsi hutan lebih cepat terjadi sehingga lebih banyak kekayaan hayati yang hilang. Itu mengkhawatirkan karena spesies-spesies baru bisa saja lebih dulu punah sebelum teridentifikasi.

Menurut Amir, di antara hewan vertebrata atau hewan bertulang belakang, amfibi adalah salah satu hewan yang penemuan jenis barunya secara global naik terus, tetapi memang identifikasi spesies harus berpacu dengan laju kerusakan keanekaragaman hayati atau biodiversity loss.

Amfibi juga sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Ketika suhu turun atau naik satu atau dua derajat karena perubahan iklim, itu bisa sangat mempengaruhi metabolisme amfibi, sehingga laju kepunahan amfibi mungkin saja lebih besar daripada laju penemuan jenis baru amfibi.

Di samping itu, kerusakan atau pencemaran terhadap habitat spesies akan mempengaruhi daya hidup spesies tersebut. Sebagai contoh, berudu yang hidup di air sangat rentan sekali terhadap perubahan kelembapan suhu dan kondisi air serta oksigen di dalamnya, sehingga jika airnya kena polusi, maka berudu tidak dapat berkembang baik dan terancam mati.

Untuk itu, habitat spesies juga harus dilindungi untuk keberlangsungan hidupnya. Pembangunan yang dilakukan manusia juga hendaknya mempertimbangkan aspek ekologis dan kelestarian makhluk hidup sehingga ada unsur keberlanjutan dan memberikan kesempatan kepada spesies untuk tetap hidup, berinteraksi dan beradaptasi di dalamnya.*