Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyebutkan, pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 17 daerah sebagai kelanjutan Pilkada Serentak 2020 kini menciptakan persoalan baru.
Di antara 17 daerah yang diperintahkan MK, baru sebagian yang melaksanakannya seperti di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara pada akhir April yang lalu.
"Dari daerah yang sudah melaksanakan PSU, timbul pertanyaan tentang apakah paslon pemenang hasil PSU bisa langsung diputuskan oleh KPU setempat, atau harus menunggu putusan MK jika ada paslon lain yang keberatan atas hasil PSU?," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu.
Dirinya juga mempertanyakan terhadap paslon yang kalah dalam PSU dan menganggap kembali terjadi kecurangan dalam PSU, adakah kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan keadilan dengan kembali membawa perkara tersebut ke MK?
Ternyata, lanjut Ketua Umum Partai Bukan Bintang (PBB) ini, ada ketidakjelasan pengaturan hukum, bahkan bisa pula dikatakan ada kevakuman hukum dalam menjawab pertanyaan di atas.
Ketentuan Pasal 54 khususnya ayat 4,5,6 dan 7 PKPU No 19 Tahun 2020 masih mengatur hasil PSU dilaporkan ke MK dan MK akan memeriksa kembali laporan hasil PSU itu.
"MK bisa memutuskan mensahkan hasil PSU, bisa pula memerintahkan PSU sekali lagi, dalam hal keberatan atas hasil PSU yang diajukan oleh paslon lain diterima MK," ujarnya.
Namun putusan MK dalam perselisihan hasil Pilkada tahun 2020 berbeda dengan dengan putusan PSU sebelumnya.
"Kalau sebelumnya MK hanya membuat putusan sela dalam memerintahkan PSU dan KPU melaporkan hasil PSU lalu MK memutuskan dalam putusan akhir, kini MK tidak lagi mengeluarkan putusan sela tetapi mengeluarkan putusan akhir," kata mantan Menkumham ini.
Amar putusan akhir MK, antara lain menyatakan memerintahkan KPU melaksanakan PSU di beberapa tempat. Hasilnya digabungkan dengan hasil pemungutan suara yang tidak dibatalkan, dan diumumkan KPU tanpa harus melapor ke MK lebih dulu.
Yusril menyebut itu sebagai "putusan gaya baru" MK yang beda dengan gaya putusan dalam Pilkada yang pernah ada sebelumnya.
"Permasalahannya adalah bagaimana jika hasil PSU ditolak oleh paslon lain, misalnya karena kecurangan kembali terjadi dalam PSU, apakah mereka tidak berhak mengajukan permohonan pembatalan hasil PSU ke MK?," kata Yusril mempertanyakan.
Dia melihat ada kelemahan KPU dalam mengantisipasi hal di atas pasca putusan gaya baru MK.
KPU tidak segera mengubah dan/atau menambah ketentuan Pasal 54 PKPU No 19 Tahun 2020 pasca munculnya putusan gaya baru itu sehingga ketidakpastian dan bahkan kevakuman hukum.
"Apa yang harus dilakukan KPU di daerah setelah PSU, langsung melakukan rekap dan segera mengumumkan paslon pemenang seperti terjadi di Kabupaten Labuhanbatu atau harus menunggu putusan MK jika ada sengketa di sana?," ucapnya.
Putusan gaya baru MK dalam Pilkada Serentak 2020 yang merupakan putusan akhir itu juga menimbulkan problema hukum.
Putusan akhir MK itu bersifat final dan mengikat, dan tidak ada upaya hukum apapun untuk membatalkannya.
"Itu benar. Tetapi apa yang final dan mengikat dalam putusan akhir sengketa Pilkada di 17 daerah itu? Amar putusan yang final dan mengikat itu tidak lain tidak bukan adalah perintah agar KPU melaksanakan PSU. Hasil PSU digabungkan dengan hasil suara yang tidak dibatalkan dan diumumkan KPU tanpa harus melapor ke MK. Yang final dan mengikat ya itu," papar Yusril.
Lantas bagaimana dengan hasil PSU yang digabungkan dengan perolehan suara yang tidak dibatalkan itu, final dan mengikat atau tidak?
"Jelas tidak, karena hasil PSU yang digabungkan dengan hasil perolehan suara yang tidak dibatalkan itu bukanlah putusan MK yang final dan mengikat, tetapi adalah semata-mata keputusan KPU sebagai penyelenggara pemilu/badan tata usaha negara yang setiap keputusannya dapat diperkarakan di pengadilan, katanya pula.
Dia pun menilai bila keputusan KPU menyangkut administrasi, maka menjadi kewenangan Bawaslu dan Pengadilan TUN untuk mengadilinya.
Namun, bila keputusannya menyangkut hasil pemilihan kepala daerah, termasuk hasil pemungutan suara ulang, ya tidak ada lembaga lain yang berwenang mengadilinya kecuali MK, sebelum ada pengadilan lain yang oleh undang-undang dinyatakan berwenang mengadilinya.
"Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana sikap MK dengan adanya putusan gaya baru ini? Apakah MK akan menolak registrasi permohonan perselisihan PSU ini karena tidak ada peraturan yang mengaturnya? Atau MK akan menolak meregistrasi permohonan karena putusan gaya baru PSU itu sudah final dan mengikat?," kata Yusril.
Kalau itu terjadi, tambah dia, MK berarti membiarkan PSU dilaksanakan dengan kemungkinan pengulangan kecurangan, sama keadaannya dengan pemungutan suara terdahulu yang justru menjadi dasar bagi MK untuk memerintahkan PSU.
Sebagai lembaga yang bertugas menjaga konstitusi dan demokrasi, kata Yusril, seharusnya MK tidak boleh membiarkan hal itu terjadi.
"Saya ingin mendengar tanggapan akademis dari sembilan hakim MK mengenai permasalahan yang serius di atas. Tentu sebagai pertanggungjawaban moral dalam melaksanakan amanah sebagai penegak keadilan, demokrasi dan konstitusi," demikian Yusril Ihza Mahendra.