Perlu pendekatan psikologis bagi yang punya trauma jarum suntik
Jakarta (ANTARA) - Ketua Ikatan Perawat Indonesia (IPI), Harif Fadhillah mengemukakan perlunya pendekatan psikologis terhadap masyarakat yang mempunyai trauma terhadap jarum suntik demi kelancaran pelaksanaan vaksinasi COVID-19.
"Kalau trauma itu agak sulit juga. Kita harus melakukan treatment secara singkat. Karena trauma yang ditimbulkan jarum suntik itu membekas dalam kehidupan," katanya di Jakarta, Sabtu.
Tenaga kesehatan yang berperan dalam memberikan vaksin kepada masyarakat pun diimbau untuk memberikan contoh dalam bentuk gambar yang memberikan informasi bagi masyarakat bahwa proses penyuntikan tidak menimbulkan masalah dalam bentuk apapun.
"Tidak bisa dibilang 'jangan takut, jangan takut ya', harus ada pendekatan psikologis dan pendampingan. Selain itu juga bisa disampaikan contoh-contoh gambar bahwa orang yang disuntik tidak terjadi masalah apa-apa.Kalau orang yang traumatik tidak bisa begitu saja (disuntik)," katanya.
Namun Harif optimistis masyarakat yang memiliki trauma terhadap jarum suntik jumlahnya sedikit di Indonesia.
Alasannya, sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini telah memiliki pengalaman dengan program vaksinasi.
"Saya kira tidak banyak (yang takut jarum suntik) karena pengalaman hidup masyarakat di hari ini, mereka hidup sejak 1960-an, di mana negara sudah banyak program vaksinasi dan pengalaman itu sudah ada," katanya.
Berdasarkan pengalaman Harif yang telah disuntik vaksin COVID-19, tidak ada gejala apapun yang dialami. "Seperti disuntik normal saja. Setelah divaksin alhamdullah saya tidak merasakan apa-apa," katanya.
Harif mengatakan metode penyuntikan vaksin COVID-19 ditancap menembus jaringan otot.
Metode tersebut, kata Harif, tidak terlalu memberikan rasa sakit. Berbeda dengan proses penyuntikan untuk mendeteksi penyakit TBC yang menembus hingga ke dalam jaringan kulit.
"Suntikan di otot berbeda dengan di pembuluh darah. Kalau pembuluh darah obatnya masuk ke pembuluh darah langsung ke jantung. Lain lagi kalau di bawah kulit untuk tes TBC. Itu sakit sekali karena dia masuk ke dalam kulit. Suntikan untuk tes TBC itu memang sakit karena jarum dipaksa masuk ke dalam kulit. Harus bengkak supaya bisa dipantau reaksinya," ujarnya.
Metode penyuntikan pun didasari atas kandungan dosis yang akan diterima tubuh pasien.
"Misalnya suntik di Puskesmas dengan cairan dosisnya lebih banyak. Kalau ini kan (vaksin COVID-19) cuma 0,5 mili atau setengah CC seperti kita disuntik vitamin biasa dan prosesnya cepat," ujarnya.
"Kalau trauma itu agak sulit juga. Kita harus melakukan treatment secara singkat. Karena trauma yang ditimbulkan jarum suntik itu membekas dalam kehidupan," katanya di Jakarta, Sabtu.
Tenaga kesehatan yang berperan dalam memberikan vaksin kepada masyarakat pun diimbau untuk memberikan contoh dalam bentuk gambar yang memberikan informasi bagi masyarakat bahwa proses penyuntikan tidak menimbulkan masalah dalam bentuk apapun.
"Tidak bisa dibilang 'jangan takut, jangan takut ya', harus ada pendekatan psikologis dan pendampingan. Selain itu juga bisa disampaikan contoh-contoh gambar bahwa orang yang disuntik tidak terjadi masalah apa-apa.Kalau orang yang traumatik tidak bisa begitu saja (disuntik)," katanya.
Namun Harif optimistis masyarakat yang memiliki trauma terhadap jarum suntik jumlahnya sedikit di Indonesia.
Alasannya, sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini telah memiliki pengalaman dengan program vaksinasi.
"Saya kira tidak banyak (yang takut jarum suntik) karena pengalaman hidup masyarakat di hari ini, mereka hidup sejak 1960-an, di mana negara sudah banyak program vaksinasi dan pengalaman itu sudah ada," katanya.
Berdasarkan pengalaman Harif yang telah disuntik vaksin COVID-19, tidak ada gejala apapun yang dialami. "Seperti disuntik normal saja. Setelah divaksin alhamdullah saya tidak merasakan apa-apa," katanya.
Harif mengatakan metode penyuntikan vaksin COVID-19 ditancap menembus jaringan otot.
Metode tersebut, kata Harif, tidak terlalu memberikan rasa sakit. Berbeda dengan proses penyuntikan untuk mendeteksi penyakit TBC yang menembus hingga ke dalam jaringan kulit.
"Suntikan di otot berbeda dengan di pembuluh darah. Kalau pembuluh darah obatnya masuk ke pembuluh darah langsung ke jantung. Lain lagi kalau di bawah kulit untuk tes TBC. Itu sakit sekali karena dia masuk ke dalam kulit. Suntikan untuk tes TBC itu memang sakit karena jarum dipaksa masuk ke dalam kulit. Harus bengkak supaya bisa dipantau reaksinya," ujarnya.
Metode penyuntikan pun didasari atas kandungan dosis yang akan diterima tubuh pasien.
"Misalnya suntik di Puskesmas dengan cairan dosisnya lebih banyak. Kalau ini kan (vaksin COVID-19) cuma 0,5 mili atau setengah CC seperti kita disuntik vitamin biasa dan prosesnya cepat," ujarnya.