49 persen warga Sumsel perlu "di rumah saja" cegah COVID-19 gelombang kedua
Masyarakat harus paham bahwa normal baru (new normal) itu bukan hidup yang kembali normal seperti dulu, melainkan kondisi kehidupan yang mengharuskan adanya kebiasaan mematuhi protokol kesehatan
Palembang (ANTARA) - Setidaknya 49 persen warga Sumatera Selatan perlu 'di rumah saja' untuk menekan angka reproduksi efektif penularan COVID-19 atau RT di bawah 1 dan demi mencegah gelombang kedua penambahan kasus.
Epidemiolog Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Dr. Iche Andriyani Liberty, Jumat, mengatakan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan timnya kepada 2.170 masyarakat di Sumsel sejak 29 Mei 2020 hingga saat ini masih berlangsung, didapatkan proporsi masyarakat yang 'di rumah saja' sebesar 39,21 persen.
"Indikator perkembangan COVID-19 Sumsel diukur dengan RT saat ini masih pada angka 1,2, untuk menekanya ke bawah angka 1 maka proporsi 'di rumah saja' harus lebih dari 49 persen," ujarnya kepada Antara.
Selain itu hasil survei juga menyebut kesadaran masyarakat menggunakan masker saat keluar rumah sudah lebih dari 80 persen, serta rata-rata tingkat kontak antar orang telah mengalami penurunan, dari sebelumnya satu orang berkontak dengan 14 orang lain perhari menjadi satu orang hanya berkontak dengan enam orang (di luar keluarga).
Penurunan tingkat kontak erat itu terjadi saat pemberlakuan PSBB atau bentuk-bentuk intervensi pemerintah lainnya ketika membatasi kegiatan masyarakat, sementara saat ini pemerintah juga baru saja mulai memulihkan kembali kegiatan sektor-sektor produktif dalam rangka menuju kehidupan normal baru (new normal) meski kasus positif COVID-19 belum menunjukan penurunan berarti.
Proporsi 'di rumah saja' dapat mempengaruhi tingkat kontak erat menjadi turun atau kembali naik dan mendorong potensi penyebaran COVID-19 berkurang atau bahkan bertambah lagi dengan kasus-kasus baru, sehingga pemahaman masyarakat terhadap normal baru juga perlu ditingkatkan.
"Masyarakat harus paham bahwa normal baru (new normal) itu bukan hidup yang kembali normal seperti dulu, melainkan kondisi kehidupan yang mengharuskan adanya kebiasaan mematuhi protokol kesehatan," tambah Dr. Iche yang juga anggota Perkumpulan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Sumsel.
Belajar dari wabah Flu Spanyol 100 tahun lalu, kata dia, potensi gelombang kedua bahkan gelombang ketiga COVID-19 di provinsi berpenduduk delapan juta jiwa itu masih cukup besar jika seluruh elemen masyarakat tidak kompak menjalankan protokol kesehatan.
"COVID-19 di Sumsel sepertinya sudah melewati puncak gelombang pertama dan kita semua berharap cukup satu gelombang itu saja," tambahnya.
Sementara PAEI Sumsel juga telah merekomendasikan lima langkah kepada pemprov, pemkot maupun pemkab di Sumsel agar proses menuju normal baru tidak menjadi pemicu gelombang kedua COVID-19.
Pertama, proses pelacakan kontak-kontak kasus harus agresif dan masyarakat perlu jujur jika terkena kontak dari suatu kasus.
Kedua yakni kapasitas uji usap (swab test) perlu ditingkatkan dan memprioritaskan kabupaten/kota dengan jumlah kasus tinggi, seperti Kota Palembang.
Ketiga, peningkatan edukasi tentang COVID-19 secara aktif harus menyasar seluruh lapisan masyarakat dengan meningkatkan tenaga promosi kesehatan di kabupaten/kota, serta didorong lewat langkah keempat berupa pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan.
"Langkah terakhir, protokol kesehatan pada berbagai sektor dijalankan secara maksimal dengan pengawasan ketat, terutama pasar yang menjadi ancaman klaster baru penyebaran COVID-19 sehingga perlu dibentuk gugus tugas sampai tingkat kecamatan," kata Dr. Iche yang juga masuk tim Gugus Tugas Sumsel.
Epidemiolog Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Dr. Iche Andriyani Liberty, Jumat, mengatakan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan timnya kepada 2.170 masyarakat di Sumsel sejak 29 Mei 2020 hingga saat ini masih berlangsung, didapatkan proporsi masyarakat yang 'di rumah saja' sebesar 39,21 persen.
"Indikator perkembangan COVID-19 Sumsel diukur dengan RT saat ini masih pada angka 1,2, untuk menekanya ke bawah angka 1 maka proporsi 'di rumah saja' harus lebih dari 49 persen," ujarnya kepada Antara.
Selain itu hasil survei juga menyebut kesadaran masyarakat menggunakan masker saat keluar rumah sudah lebih dari 80 persen, serta rata-rata tingkat kontak antar orang telah mengalami penurunan, dari sebelumnya satu orang berkontak dengan 14 orang lain perhari menjadi satu orang hanya berkontak dengan enam orang (di luar keluarga).
Penurunan tingkat kontak erat itu terjadi saat pemberlakuan PSBB atau bentuk-bentuk intervensi pemerintah lainnya ketika membatasi kegiatan masyarakat, sementara saat ini pemerintah juga baru saja mulai memulihkan kembali kegiatan sektor-sektor produktif dalam rangka menuju kehidupan normal baru (new normal) meski kasus positif COVID-19 belum menunjukan penurunan berarti.
Proporsi 'di rumah saja' dapat mempengaruhi tingkat kontak erat menjadi turun atau kembali naik dan mendorong potensi penyebaran COVID-19 berkurang atau bahkan bertambah lagi dengan kasus-kasus baru, sehingga pemahaman masyarakat terhadap normal baru juga perlu ditingkatkan.
"Masyarakat harus paham bahwa normal baru (new normal) itu bukan hidup yang kembali normal seperti dulu, melainkan kondisi kehidupan yang mengharuskan adanya kebiasaan mematuhi protokol kesehatan," tambah Dr. Iche yang juga anggota Perkumpulan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Sumsel.
Belajar dari wabah Flu Spanyol 100 tahun lalu, kata dia, potensi gelombang kedua bahkan gelombang ketiga COVID-19 di provinsi berpenduduk delapan juta jiwa itu masih cukup besar jika seluruh elemen masyarakat tidak kompak menjalankan protokol kesehatan.
"COVID-19 di Sumsel sepertinya sudah melewati puncak gelombang pertama dan kita semua berharap cukup satu gelombang itu saja," tambahnya.
Sementara PAEI Sumsel juga telah merekomendasikan lima langkah kepada pemprov, pemkot maupun pemkab di Sumsel agar proses menuju normal baru tidak menjadi pemicu gelombang kedua COVID-19.
Pertama, proses pelacakan kontak-kontak kasus harus agresif dan masyarakat perlu jujur jika terkena kontak dari suatu kasus.
Kedua yakni kapasitas uji usap (swab test) perlu ditingkatkan dan memprioritaskan kabupaten/kota dengan jumlah kasus tinggi, seperti Kota Palembang.
Ketiga, peningkatan edukasi tentang COVID-19 secara aktif harus menyasar seluruh lapisan masyarakat dengan meningkatkan tenaga promosi kesehatan di kabupaten/kota, serta didorong lewat langkah keempat berupa pelibatan dan pemberdayaan masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan.
"Langkah terakhir, protokol kesehatan pada berbagai sektor dijalankan secara maksimal dengan pengawasan ketat, terutama pasar yang menjadi ancaman klaster baru penyebaran COVID-19 sehingga perlu dibentuk gugus tugas sampai tingkat kecamatan," kata Dr. Iche yang juga masuk tim Gugus Tugas Sumsel.