Akademisi: Masih ada niat buka lahan dengan membakar
Jakarta (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di sejumlah wilayah terutama di lahan gambut dikarenakan masih adanya niat untuk membuka lahan dengan cara membakar, demikian dikatakan Guru Besar Perlindungan Hutan IPB Prof Bambang Hero.
"Memang masih terjadi kegiatan penyiapan lahan dengan cara dibakar, niat itu memang ada, tidak hanya masyarakat tapi korporasi juga," kata Bambang kepada ANTARA saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Bambang menyebutkan keuntungan yang didapat dari pembukaan lahan menggunakan api lebih besar dibanding tanpa penggunaan api.
Ia mencontohkan, jika perusahaan sawit misalnya melakukan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) membutuhkan biaya minimal Rp40 juta sampai Rp50 juta per hektare. Biaya tersebut digunakan untuk membangun kanal, membuat lobang tanam, pemupukan, pestisida, hara, mekanisasi dan lainnya.
Ketika membuka lahan menggunakan api, biaya Rp40 juta sampai Rp50 juta bisa ditekan. Minimal biaya yang diperlukan lima juta atau bahkan kurang dari Rp10 juta per hektarenya.
"Sehingga deltanya tadi perbedaan antara uang untuk buka lahan dengan bakar dan tidak bakar cukup tinggi sekali sekitar Rp30 juta sampai Rp40 juta dan ini bisa digunakan untuk membuka kebun lain di tempat lain," katanya.
Membuka lahan tanpa bakar membutuhkan waktu panjang, sehingga target perusahaan membuka lahan 1.000 hektare kadang tidak tercapai. Kendala lainnya, alat berat yang dipakai kadang digunakan juga di tempat lain atau oleh korporasi lain.
"Buka lahan tanpa bakar butuh waktu minimal satu tahun dan target membuka lahan belum tentu tercapai," kata Bambang yang juga peneliti dan dosen di Fakultas Kehutanan IPB.
Praktik-praktik seperti ini lanjut Bambang, harus diantisipasi oleh pemerintah daerah untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan terutama di musim kemarau. Apalagi di wilayah gambut yang kondisinya sudah rusak akibat aktivitas perkebunan.
Pembakaran lahan di musim kemarau memicu terjadinya kabut asap. Kebakaran lahan di wilayah gambut selain karena ada praktek membuka lahan secara dibakar juga karena persoalan dari gambut itu sendiri yang memang sudah rusak.
Gambut mudah mengering terutama pada musim kemarau terjadi penurunan muka air, gambut yang rusak bila terbakar menimbulkan emisi yang disebut kabut asap.
"Persoalan sekarang water table di lahan gambut itu makin turun. Dan kebakaran tidak bisa terjadi sendiri, pasti ada pemicunya," kata Bambang juga tim ahli KLHK dalam penyelesaian kasus pidana kebakaran hutan.
Upaya mencegah kebakaran di lahan gambut, menurut Bambang, yakni memastikan perusahaan yang terkena kewajiban untuk melakukan restorasi gambut harus benar-benar menjalankan kewajibannya. "Pastikan apakah perusahaan itu menjalankan kewajibannya," kata Bambang.
"Memang masih terjadi kegiatan penyiapan lahan dengan cara dibakar, niat itu memang ada, tidak hanya masyarakat tapi korporasi juga," kata Bambang kepada ANTARA saat dihubungi dari Jakarta, Jumat.
Bambang menyebutkan keuntungan yang didapat dari pembukaan lahan menggunakan api lebih besar dibanding tanpa penggunaan api.
Ia mencontohkan, jika perusahaan sawit misalnya melakukan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) membutuhkan biaya minimal Rp40 juta sampai Rp50 juta per hektare. Biaya tersebut digunakan untuk membangun kanal, membuat lobang tanam, pemupukan, pestisida, hara, mekanisasi dan lainnya.
Ketika membuka lahan menggunakan api, biaya Rp40 juta sampai Rp50 juta bisa ditekan. Minimal biaya yang diperlukan lima juta atau bahkan kurang dari Rp10 juta per hektarenya.
"Sehingga deltanya tadi perbedaan antara uang untuk buka lahan dengan bakar dan tidak bakar cukup tinggi sekali sekitar Rp30 juta sampai Rp40 juta dan ini bisa digunakan untuk membuka kebun lain di tempat lain," katanya.
Membuka lahan tanpa bakar membutuhkan waktu panjang, sehingga target perusahaan membuka lahan 1.000 hektare kadang tidak tercapai. Kendala lainnya, alat berat yang dipakai kadang digunakan juga di tempat lain atau oleh korporasi lain.
"Buka lahan tanpa bakar butuh waktu minimal satu tahun dan target membuka lahan belum tentu tercapai," kata Bambang yang juga peneliti dan dosen di Fakultas Kehutanan IPB.
Praktik-praktik seperti ini lanjut Bambang, harus diantisipasi oleh pemerintah daerah untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan terutama di musim kemarau. Apalagi di wilayah gambut yang kondisinya sudah rusak akibat aktivitas perkebunan.
Pembakaran lahan di musim kemarau memicu terjadinya kabut asap. Kebakaran lahan di wilayah gambut selain karena ada praktek membuka lahan secara dibakar juga karena persoalan dari gambut itu sendiri yang memang sudah rusak.
Gambut mudah mengering terutama pada musim kemarau terjadi penurunan muka air, gambut yang rusak bila terbakar menimbulkan emisi yang disebut kabut asap.
"Persoalan sekarang water table di lahan gambut itu makin turun. Dan kebakaran tidak bisa terjadi sendiri, pasti ada pemicunya," kata Bambang juga tim ahli KLHK dalam penyelesaian kasus pidana kebakaran hutan.
Upaya mencegah kebakaran di lahan gambut, menurut Bambang, yakni memastikan perusahaan yang terkena kewajiban untuk melakukan restorasi gambut harus benar-benar menjalankan kewajibannya. "Pastikan apakah perusahaan itu menjalankan kewajibannya," kata Bambang.