Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap menjadi sorotan ataupun gunjingan mulai dari segelintir anggota DPR yang ingin "menyunat" kewenangannya, koruptor atau sedikitnya beberapa pejabat daerah yang terkena operasi tangkap tangan hingga munculnya pernyataan pejabat negara supaya KPK menunda pengumuman pengumuman tersangka calon peserta pilkada serentak yang akan digelar 27 Juni 2018.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Wiranto pada hari Senin, 12 Maret 2018 di Jakarta meminta atau mengimbau KPK agar menunda pengumuman nama ataupun nama-nama calon peserta pilkada serentak.
Alasan Menko Polhukam adalah jika nama-nama tersangka korupsi diumumkan oleh KPK maka dikhawatirkan bisa mengganggu pilkada apalagi semua calon sedang berada pada masa kampanye.
Harapan, imbauan, ataupun seruan ini memang patut direnungkan karena selama 2,5 bulan pertama tahun 2018 ini, sudah terdapat beberapa pejabat daerah atau mantan pejabat yang digerebek KPK.
Mereka itu antara lain adalah Bupati Ngada, Provinsi Nusa Tenggara Timur Marianus Sae serta calon gubernur Sulawesi Tenggara Asrun yang terkena OTT bersama anaknya yang menjadi penggantinya sebagai Wali Kota Kendari, Sultra Adriatma Dwi Putra.
Selain itu, juga muncul nama Bupati Subang, Jawa Barat Immas Aryumningsih, serta Bupati Jombang, Jawa Timur Nyono Suharli.
Pernyataan Menko Polhukam ini muncul setelah Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan lembaga antirasuah akan mengumumkan beberapa peserta pilkada yang diduga keras terlibat dalam kasus gratifikasi, korupsi atau apa pun istilahnya.
Agus mengungkapkan nama-nama tersangka bakal segera diumumkan karena pihaknya sudah memiliki data atau fakta yang menunjukkan bahwa para tersangka ini memang pantas diduga terlibat dalam kasus yang merugikan masyarakat.
Pertanyaan yang bisa muncul pada benak rakyat adalah pihak manakah yang harus diiikuti, Wiranto ataukah Agus?
Jika merenungkan sikap Wiranto, maka memang benar bahwa jika KPK terus saja menggulung peserta pilkada yang diduga keras terlibat kasus kejahatan maka bisa saja pengumuman nama-nama itu memang bakal mengganggu persiapan pesta demokrasi lima tahunan ini apalagi mereka sedang berkampanye.
Jika melihat nama-nama bupati ataupun wali kota yang selama ini sudah diumumkan oleh KPK, maka tentu saja para peserta pilkada ini akan mengalami banyak kerugian misalnya jika tadinya ada warga setempat yang sudah memastikan diri untuk memilih, maka bisa saja berubah pikiran ke calon kepala daerah lainnya ataupun malahan menjadi anggota "golongan putih atau golput" atau orang yang secara sadar atau sengaja tidak mau datang ke tempat pencoblosan atau istilah resminya tempat pemungutan suara (TPS.
Sementara itu, di lain pihak, para pemilih yang jumlahnya jutaan atau sedikitnya ratusan ribu jiwa orang itu juga berhak mengetahui apakah calon unggulan mereka itu sudah benar-benar menjadi tokoh yang bebas dari dosa korupsi ataukah jangan-jangan nanti setelah dilantik menjadi gubernur, bupati ataupun wali kota langsung ditangkap oleh penyidik KPK dengan alasan telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.
Jika umpamanya wali kota dan pasangannya wakil wali kota sudah dilantik dalam sebuah acara yang sangat meriah dan bahkan terkesan mewah namun satu minggu kemudian ditahan oleh penyidik KPK maka sikap apa yang harus ditempuh warganya apakah melawan PKP, pasrah ataukah menuntut dilakukannya pemungutan suara ulang yang pasti akan memakan waktu lagi dan juga biaya yang sangat besar pula?
Adalah pilihan atau alternatif lainnya bagi warga atau pemilih yang tidak berdosa itu?
Harus Sukses
Pilkada di 17 provinsi,39 kota serta 115 kabupaten itu memang harus sukses dalam arti akan dihasilkan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati serta wali kota dan pasangannya wakil wali kota yang sangat menyadari bahwa mereka adalah pelayan atau abdi masyarakat di sekitarnya.
Sebagai pejabat baru, maka tentu saja mereka harus menjalankan semua amanah rakyat dan tidak mengulangi korupsi, penyalahgunaan jabatan yang mungkin dahulu pernah terjadi di pemerintahan setempat.
Masyarakat tentu sepakat dengan Wiranto supaya pilkada berlangsung lancar dan tidak diganggu oleh hal apa pun juga yang bisa merusak pesta demokrasi itu.
Namun di lain pihak, semua jajaran pemerintahan terutama yang berada di pusat juga perlu menyadari keinginan atau dambaan semua pemilih bahwa pilkada tahun 2018 ini harus benar-benar melahirkan kepala daerah yang bersih dari dosa korupsi apa pun bentuknya.
Masyarakat di semua provinsi, kota dan kabupaten pasti sudah merasakan kebencian, rasa muak terhadap para pejabat setempat yang sudah mendapat amanah menjadi abdi rakyat tapi kemudian malahan menjadi korutor demi kepentingan dirinya sendiri, partai politik ataupun kelompok yang mengakibatkan dirinya terangkat dirinya menjadi abdi masyarakat.
Rakyat di berbagai daerah sudah melihat kenyataan bahwa ada pejabat yang baru satu atau dua tahun menjadi penguasa sudah harus diciduk dalam operasi tangkap tangan yang dilancarkan KPK dengan dukungan jajaran Kepolisian Republik Indonesia.
Jadi, kalau rakyat sepakat dengan Wiranto agar pilkada harus berlangsung lancar dan tertib maka bagaimana kemudian dengan tekad Ketua KPK Agus Rahardjo bersama jajarannya untuk tetap "menggulung" semua tersangka koruptor yang sedang mengikuti proses pilkada ini?
Masyarakat di seluruh Tanah Air pasti akan tetap mendukung terus langkah, upaya lembaga antirasuah ini untuk "menghabisi" semua tersangka koruptor hingga mereka sampai tampil di meja hijau.
Kalau upaya memberantas korupsi harus sementara waktu berhenti "di tengah jalan" hanya gara-gara pemilihan kepala daerah maka hampir bisa dipastikan rakyat juga tidak akan setuju.
Jadi kalau begitu mungkinkah ada "jalan tengah" antara Kementerian Menko Polhukam agar pilkada tetap berlangsung sukses dan aman serta pemberantasan korupsi tetap dilancarkan tanpa dihambat oleh siapa un juga?
Rakyat bisa saja merasa takut kalau gara-gara pilkada ini maka operasi tangkap tangan KPK dihentikan sementara dan kemudian situasi itu dimanfaatkan salah oleh oknum tak bertanggung jawab untuk menghilangkan bukti-bukti atau bahkan kabur ke luar negeri maka siapa yang akan berani mengambil alih tanggung jawab atas kasus semacam ini?
Sanggupkah atau siapkah para pejabat pemerintah mengambil alih situasi yang tak menentu ini?
Selama puluhan tahun, rakyat di Tanah Air hampir setiap saat harus menerima kenyataan atau fakta bahwa ada saja pejabat pemerintah yang melakukan tindak pidana korupsi sehingga pertanyaan yang muncul pada benak warga negara yang mana pun juga adalah kapankah pemerintah sanggup menghilangkan semaksimal mungkin menekan tindak kejahatan ini? Masak sih korupsi mustahil digulung atau diberantas?
Rakyat pasti tidak memiliki harapan yang berlebihan kepada para pejabat apa pun tingkat jabatannya kecuali mereka benar-benar mengabdi kepada rakyat dan bangsa Indonesia ini dan tidaklah "gelap mata" terhadap uang rakyat yang pemanfaatannya diserahkan kepada jajaran pemerintahan.
(T.A011/Santoso)
Telaah- Koruptor peserta Pilkada "Bersorak-sorai"
....Sanggupkah atau siapkah para pejabat pemerintah mengambil alih situasi yang tak menentu ini?....