Prodi baru di perguruan tinggi tak harus sesuai nomenklatur

id Kemristekdikti,program studi,jurusan baru,perguruan tinggi,universitas,nomenklatur,berita palembang,berita sumsel

Prodi baru di perguruan tinggi tak harus sesuai nomenklatur

Kemristekdikti (Antarasumsel.com/17/Grafis)

Jakarta (ANTARA News Sumsel)- Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menyatakan usulan program studi (prodi) baru tidak harus sesuai dengan nomenklatur yang tertuang dalam Kepmenristekdikti 257/2017.

"Sekarang sudah dibuka semua usulan untuk prodi baru, jadi tidak harus sesuai dengan nomenklatur yang ada di Kepmenristekdikti 257/2017 dan lampirannya," ujar Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti, Patdono Suwignjo, di Jakarta, Rabu.

Kepmenristekdikti 257/2017 tersebut mengenai nama program studi pada perguruan tinggi.

Patdono mengatakan saat ini pihaknya membuka kesempatan bagi perguruan tinggi untuk mengusulkan prodi baru, meskipun tidak sesuai dengan nomenklatur yang ada.

"Untuk tahap pertama saja sudah ada 45 program studi yang masuk dan disetujui. Itu sebagian besar nama prodinya tidak sesuai dengan nomenklatur dan lampirannya."

Pengusulan nama prodi baru tersebut diperbanyak yakni empat kali dalam setahun, yang mana jika diusulkan Januari maka akan diproses pada Februari dan Maret. Begitu juga jika diusulkan April maka akan diproses pada Mei dan Juni.

"Rencananya kami akan upayakan pengusulan itu dilakukan sepanjang tahun," kata Patdono.

Ia berharap debiroktisasi dan deregulasi pembentukan prodi baru tersebut, mempercepat proses pengajuan prodi oleh masyarakat sehingga bisa menjawab tantangan revolusi industri 4.0.

Anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Profesor Asep Saefuddin mengatakan pemerintah perlu melakukan deregulasi pembentukan prodi baru karena saat ini terlalu kaku, misalna nama prodi harus sesuai dengan nomenklatur. Padahal, dengan kecepatan dunia teknologi, ada beberapa nomenklatur yang tidak bisa diikuti contohnya Prodi "Big Data", Prodi Data Sains.

"Susah diizinkan bila terlalu kaku dengan nomenklatur, akhirnya proposalnya harus diperbaiki dengan mengikuti nomenklatur yang ada. Akan tetapi, setelah diperbaiki, juga tidak otomatis disetujui," terang Guru Besar Statistik Institut Pertanian Bogor itu.

Selain itu,  syarat program studi harus ada enam dosen di bidangnya itu mahal dan tidak mudah untuk diperoleh. Seharusnya, kata Asep, syarat dosen itu cukup diserahkan kepada universitas pengusul.

"Jika di prodi itu ada dosen-dosen tetap yang bidangnya serumpun dan relevan untuk prodi baru, seharusnya sudah cukup. Jadi, tidak perlu wajib mencari yang baru," saran Asep yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Al Azhar Indonesia itu.
(T.I025/R. Utami)