Jangan menghakimi perangai individu

id perangai, moral, sifat, karakter, marah, akil mochtar

Jangan menghakimi perangai individu

Ilustrasi---Mantan Hakim Konstitusi Akil Mochtar yang tertangkap tangan menerima suap pemenangan sengketa pilkada. FOTO ANTARA)

Inilah sepenggal kalimat alias kata-kata bijak yang berulang kali diunggah warganet di media sosial: perangaimu adalah takdirmu.

Kalimat itu boleh jadi tak menimbulkan pertanyaan atau jadi pemantik untuk menyimak maknanya lebih jauh bagi sebagian orang yang membacanya. Tapi bagi sebagian yang lain bisa menjadi petunjuk untuk mengupas implikasi dari gugusan kata-kata mutiara itu.

Sepintas kalimat bijak itu melawan asumsi umum bahwa perangai bukanlah takdir tapi hasil dialektika dalam pergulatan hidup individual yang terus berproses.

Setiap orang pada dasarnya lahir bagai kertas putih, demikian salah satu teori dalam psikologi menyimpulkan. Karena lingkungan alam, sosial dan keluarga, jiwa seorang bocah yang bagai kertas putih itu memperoleh sentuhan goresan.

Tentu tak seorang pun dapat mengelak takdirnya sebelum dilahirkan ke muka bumi. Kajian psikologi juga menyimpulkan, seorang anak yang terlahir dalam keluarga aristokrat cenderung mempunyai perangai dasar yang cenderung  berbeda dengan mereka yang dilahirkan di dalam keluarga pekerja rendahan.

Meskipun demikian, tetap ada misteri yang tak sepenuhnya terjawab oleh penjelasan ilmiah tentang pembentukan perangai baik dan buruk. Seorang anak berperangai baik bisa lahir dalam keluarga dari pasangan suami istri yang menurut standar Lawrence Kohlberg masuk kategori memiliki tingkat moralitas rendah maupun tinggi.

Begitu juga sebaliknya, bocah yang berwatak pemarah, temperamental, emosional yang menurut anggapan umum dikategorikan sebagai watak yang negatif bisa lahir dilingkungan keluarga apa pun.

Begitu juga dengan kadar integritas individual.  Anak-anak yang sportif, jujur, berempati dan suka berbagi kepada orang-orang disekitarnya bisa lahir di keluarga terpelajar maupun kurang terpelajar.

Karena perangai, sebagaimana dikutip dalam kalimat mutiara di atas, diandaikan  sebagai takdir personal,  ada implikasi yang bisa ditarik dari kearifan yang entah siapa penuturnya itu, yakni: imperatif untuk tidak menghakimi perangai individu. Namun, faktanya, tak sedikit orang yang terjebak pada perilaku kaprah berikut ini: memuji perangai baik dan mencemooh perangai buruk.

Dengan demikian, kalimat bijak itu bisa diperlakukan sebagai pengingat setiap orang bahwa sebaiknya jangan suka menghakimi orang berdasarkan perangai yang melekat pada diri orang bersangkuta.

Bunda Theresa, yang semasa hidupnya mengabdikan hidupnya untuk meringankan derita kaum terlunta-lunta di Kalkuta, mengucapkan kata-kata terkemuka: Bila engkau menghakimi seseorang, engkau tak akan sanggup mencintainya.

Jadi jelaslah bahwa yang pantas dihakimi bukan orang, bukan pula perangai, tapi perbuatan, aksi, termasuk tindak tutur seseorang. Penghakiman berupa pujian atau celaan hanya boleh ditimpakan pada perbuatan. Kenapa? Sebab  perbuatan baik atau buruk bisa dilakukan oleh mereka yang berperangai buruk maupun baik.

Manusia tak pernah tercerabut dari konteks situasionalnya, demikian filosof fenomenologis berargumen. Kaum religius menawarkan resep dalam bentuk laku zikir, meditasi, tapa agar setan  sewaktu-waktu tak menyelinap di lubuk hati untuk mengajak manusia berbuat jahat.

Koruptor yang layak dihujat habis-habisan ketika menggarong uang rakyat atau rampok yang melukai korbannya, punya momen-momen yang lembut juga ketika mereka, misalnya,  menuntun istri mereka  yang sakit perut karena hendak melahirkan orok yang dikandung.

Menjadi gamblanglah apa yang dimaksud dengan kalimat mutiara yang dikutip di awal tulisan ini: perangaimu adalah takdirmu. Makna takdir selama ini dipahami oleh sebagian besar orang yang meyakini eksistensi Yang Maha Ada sebagai ketentuan ilahi.

Karena perangai itu, dalam pemahaman penulis kalimat mutiara di atas, adalah sesuatu yang terberi, yang tak bisa ditampik oleh individu yang menerimanya, tak adillah jika dihakimi.

Ketidakadilan itu kian dipertegas dengan temuan pakar medis yang bertungkus-lumus dalam riset genetika. Sudah sejak beberpa dekade silam kalangan ahli kedokteran menemukan fakta bahwa struktur DNA tiap manusia ikut menentukan perangainya.  Ibarat bensin yang mudah terbakar, yang berbeda sifatnya dengan air yang justru memadamkan api, perangai pemarah, emosional dan temperamental seseorang tak bisa dipaksa untuk menjadi perangai kalem, lembut, penyabar.

Harus diakui bahwa mengontraskan perangai pemarah, emosional dan temperamental bertolak belakang dengan perangai kalem, lembut dan penyabar tidak perlu dibaca sebagai kontradiksi mutlak. Ada nuansa yang batas-batasanya tak hitam putih simplistis.

Bahkan perangai yang dianggap sebagai takdir itu pun bisa lentur dalam proses perjalanan hidup sang individu. Peristiwa dramatis atau traumatis kadang bisa mengubah perangai seseorang. Dalam sejarah orang-orang besar, perubahan perangai semacam itu pernah terjadi pada Paulus, yang semula dikenal sebagai penyiksa, penganiaya kemudian berubah menjadi penuh kasih.

Dalam kehidupan sosial mutakhir, tempaan hidup di kota-kota metropolitan yang keras, hiruk-pikuk, tak jarang mengubah perangai warganya yang baru hijrah dari kampung halaman yang guyup, penuh harmoni dan ketenangan.

Tanpa benteng moralitas yang dibangun dengan kokoh, lewat pembiasaan berperilaku etis maupun siraman rohani yang terhayati secara mendalam sebelumnya, para pendatang di kawasan urban akan berubah perangai.

Tidak terlalu mengejutkan jika ada seseorang yang semasa duduk di bangku pendidikan dasar di kampung halaman di pedesaan dikenal berperilaku santun kemudian di masa dewasanya berubah menjadi preman yang gemar membentak korbannya.