Jakarta (Antarasumsel.com) - Lembaga yang fokus dalam isu-isu pangan serta desa, Indonesia Berseru, menyatakan hingga saat ini pangan belum mendapat perhatian yang cukup, sehingga Indonesia masih mengalami persoalan dengan pangan.
"Presiden Soekarno dalam pidatonya pernah mengatakan, 'Pangan adalah persoalan hidup mati bangsa'. Namun, hingga setengah abad setelah kata-kata Bapak Proklamator tersebut keluar, Indonesia masih mengalami soal pangan," kata Tejo Wahyu Jatmiko dari Indonesia Berseru, dalam acara Program Mentoring Jurnalis Sains Indonesia 2017, di Jakarta, Jumat.
Dari survei yang dilakukan lembaganya yang fokus pada isu pangan serta desa, pada generasi milenial pemahaman pangan sangat minim.
"Informasi pangan banyak tetapi mereka tahu sedikit. Tidak heran kalau prevalensi penderita diabet tipe dua makin tinggi dan usia semakin muda," katanya.
Dikatakannya Indonesia kaya, tapi lupa. Lupa dengan makanan alami seperti singkong, pisang yang kini identik jadi makanan masyarakat kelas bawah.
Menurutnya, sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia mengalami darurat pangan, jumlah petani dan lahan pertanian menurun drasti. Jika terus dibiarkan tidak akan ada lagi yang menanam dan menghasilkan pangan.
"Lahan pertanian menyusut kisaran 100 ribu hektare sampai 110 ribu hektare. Sedangkan kemampuan untuk mencetak sawah maksimal 50 ribu per tahun," katanya.
Paradoks lainnya, Indonesia memilki sumber pangan beragam tapi penggalian manfaat sedikit. Di sisi lain, negara membiarkan pangan impor masuk.
Ia mengatakan, sumber karbohidrat yang dikonsumsi masyarakat Indonesia setelah nasi adala roti dan mie.
"Banyak yang tidak tau, bahwa terigu itu 100 persen impor. Indonesia dijajah mulai dari lidah," kata Tejo.
Society of Indonesia Science (SISJ) berupaya meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pertanian dengan mengadakan pelatihan jurnalisme sains yang fokus pada isu pangan.
Pelatihan diikuti 20 jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia baik media umum nasional maupun lokal dari Sabang sampai Indonesia Timur (Palu dan Kendari) seperti Kantor Berita Antara, Kompas, Bisnis Indonesia, BBC Indonesia, Sinar Tani, Zona Sultra dan lainnya.
Pelatihan jurnalis sains akan berlangsung selama 10 bulan dengan dua kali pertemuan tatap muka. Pelatihan merupakan tindak lanjut program SjCOOP Asia yang diprakarsai World Federation of Science Journalists (WFSJ) untuk memajukan jurnalisme sains di kawasan Asia Tenggara.
Ketua SISJ, Harry Surjadi mengatakan, pelatihan tersebut didukung oleh Sasakawan Peace Foundation dan British Council fokus pada isu pangan yang dipandang dari sisi sains.
"Harapannya, informasi pangan berbasis penelitian dapat disebarluaskan kepada masyarakat, maupun pemangku kepentingan," kata Harry.
Theresa Birks dari British Council mengatakan, jurnalis sains berperan penting dan menjadi salah satu perhatian lembaganya.
"Beragamnya hoax, klaim dan informasi yang tidak benar, termasuk dalam soal pangan, jurnalisme sain bisa hadir memberikan pencerahan," harapnya.
Mariko Hayashi dari Sasakawa Peace Foundation mengatakan, meski pelatihan tersebut fokus pada isu pangan, tetapi hasilnya dapat berdampak luas.
"Lewat pangan kita mendorong perhatian persoalan pembangunan, hak asasi manusia dan kerjasama dunia," kata Mariko.