Jakarta (Antarasumsel.com) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mempertimbangkan secara serius untuk menerapkan pidana korporasi untuk memaksimalkan "asset recovery" atau pengembalian aset dalam penyidikan tindak pidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Kami dapatkan informasi tim penyidik sedang mempertimbangkan secara serius untuk menerapkan ketentuan-ketentian pidana korporasi sebagai salah satu cara untuk memaksimalkan "asset recovery", jadi pemetaan aset obligor yang ada di Indonesia akan dilakukan oleh penyidik," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Penerapan pidana korporasi itu, kata Febri merupakan salah satu bagian dari strategi memaksimalkan "asset recovery" dalam kasus BLBI.
"Jadi penyidik sedang mempertimbangkan secara serius untuk menerapkan pidana korporasi sejauh mana itu nanti bisa diterapkan terutama untuk mengejar aset-aset atau pihak-pihak yang diuntungkan dari indikasi korupsi BLBI dengan kerugian negara sekitar Rp3,7 triliun," tuturnya.
Lebih lanjut, Febri menyatakan dalam hal terdapat aset di luar negeri tentu saja kerja sama internasional akan dilakukan baik dengan jaringan yang sudah dibangun oleh KPK atau kerja sama internasional lainnya.
"Kerja sama internasional itu difasilitasi sesuai dengan "United Nations Convention against Corruption" yang sudah kita ratifikasi, akan dilakukan kerja sama internasional untuk memaksimalkan "asset recovery" dan pengumpulan bukti yang lainnya," ucap Febri.
Dalam penyidikan kasus BLBI itu, KPK pada Selasa memeriksa Plt Deputi BPPN Bidang Asset Management Investment (AMI) Stephanus Eka Dasawarsa Sutantyo sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.
"Pemeriksaan hari ini merupakan penjadwalan ulang dari panggilan pada 3 Mei lalu. KPK juga mendalami terkait dengan tugas yang dilakukan oleh saksi pada saat itu, yaitu proses penutupan BDNI dan proses penagihan yang dilakukan oleh BPPN," kata Febri.
Selain itu, kata dia KPK juga mendalami kepada saksi perihal kewajiban dari BDNI sekitar Rp4,8 triliun.
"Sampai saat ini artinya KPK dalam penanganan BLBI terus menggali peran dari tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung dan pihak lain yang terkait dengan proses penerbitan SKL itu," ucap Febri.
KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.
Syafruddin sebagai Kepala BPPN sejak April 2002 mengusulkan perubahan kewajiban obligor Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang dimiliki Sjamsul Nursalim pada Mei 2002 sebesar Rp4,8 triliun, sehingga dari tadinya proses ligitasi menjadi hanya restrukturisasi yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp3,7 triliun.
Sjamsul adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan perusahaan ban PT Gajah Tunggal dan sudah lari keluar negeri. Ia terakhir kali diketahui berada di Singapura yaitu di rumah duka Mount Vernon Parlour, Singapura saat melayat pengusaha Liem Sioe Liong alias Sudono Salim pada 18 Juni 2012.
Syafruddin disangkakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini atas dasar perjanjian Indonesia dengan IMF.
Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun, penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.
Terkait dengan dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung. Akan tetapi, Kejaksaan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden RI Megawati yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Dalam penyelidikan kasus ini, KPK sudah memeriksa sejumlah pejabat pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004, yaitu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2001 s.d. 2004 Laksamana Sukardi, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000 s.d. 2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998 s.d. 1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999 s.d. 2000 dan Kepala Bappenas 2001 s.d. 2004 Kwik Kian Gie.