Banyak pihak sejak lama menghendaki agar ujian nasional dihapuskan saja, karena dinilai mengandung beberapa kelemahan mulai dari standar kelulusan yang setiap tahun meningkat.
Kelemahan lainnya yakni kecurangan-kecurangan terjadi karena hanya mendapatkan sebuah angka dari mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional (UN).
Hasil ujian nasional juga ditengarai menyebabkan kamuflase angka-angka dengan tujuan menjaga nama baik sekolah agar tidak anjlok atau turun kredibilitasnya sebagai sekolah favorit.
UN yang seharusnya merupakan salah satu puncak prestasi siswa setelah belajar selama tiga tahun, ternyata juga dirasakan siswa tidak menjadi jaminan bahwa murid pandai bisa lulus. Ada juara olimpiade matematika malah tidak lulus UN karena nilai bahasa Inggrisnya rendah.
Tim Advokasi Korban Ujian Nasional, beberapa waktu lalu malah mendaftarkan permohonan eksekusi, terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung perkara UN. Menurut anggota Tim, Edy Halomoan, permohonan tersebut diajukan, karena pihak-pihak terkait tak memiliki itikad baik untuk menaati dan menjalani putusan MA tersebut.
"Sejak September 2009, kasasi MA sudah keluar dan seharusnya keputusan itu ditaati. Tetapi kewajiban itu tidak dipenuhi dan UN tetap dilaksanakan," tutur Edy dan menambahkan bahwa UN bisa dilangsungkan, dengan memenuhi tiga syarat yakni peningkatan kualitas guru, sarana-prasarana yang lengkap, perluasan akses informasi lengkap di seluruh sekolan di Indonesia.
"Bila tidak dipenuhi, maka pemerintah tak bisa melangsungkan UN. Realitas di lapangan, ketiga syarat tersebut, belum dipenuhi terlihat dari masih banyaknya sekolah di Indonesia yang kekurangan guru, fasilitas tidak ada dan banyak gedung sekolah yang nyaris rubuh.
Meskipun sekarang kelulusan siswa ditentukan oleh nilai sehari-hari siswa 40 persen dan nilai UN 60 persen, tetapi nilai UN masih dianggap menjadi faktor yang paling mempengaruhi kelulusan siswa. Oleh karena itu desakan masyarakat agar UN dihapuskan saja, terus menguat.
Namun Mendikbud Mohammad Nuh menegaskan bahwa ujian nasional (UN) akan bisa berubah bila Kurikulum 2013 sudah benar-benar diterapkan. "Tahun ini (2013), UN masih tetap, karena perubahan kurikulum baru akan diberlakukan Juni, sedangkan UN akan dilaksanakan pada April-Mei," katanya.
Dia juga menyebutkan, proses dan output dalam Kurikulum 2013 itu sama-sama penting. Karena itu, keduanya harus dikombinasikan, sehingga UN ke depan akan bisa berubah, tapi perubahan itu bukan sekarang, sebab Kurikulum 2013 masih pada tahap uji publik.
Menurut dia, perubahan Kurikulum 2013 itu sama sekali tidak dilandasi kepentingan politik, melainkan murni berlandaskan akademik, karena itu pihaknya melakukan uji publik. "Kalau pertimbangannya politik mungkin perubahan itu bisa batal, karena kami menghadapi stigma masyarakat yang seakan-akan membenarkan bahwa ganti menteri itu ganti kurikulum," kata Mendikbud.
Nuh mengaku mengambil risiko dengan mempertimbangkan kepentingan riil untuk masa depan generasi muda yang lebih baik yakni pintar dan benar. Jadi, perubahan kurikulum itu untuk menyikapi perubahan zaman yang kelak akan mengutamakan kompetensi tiga bidang yakni sikap, keterampilan, pengetahuan. Kompetensi ini kami kami sinergikan dengan nilai-nilai karakter.
Perubahan sikap itu ditentukan pendidikan karakter, ujarnya, sedangkan perubahan keterampilan dan pengetahuan ditentukan inovasi. Cara untuk mendidik siswa yang memiliki inovasi adalah mengembangkan kreatifitas yang bisa dilakukan lewat lima tahapa: pengamatan, bertanya, berpikir (nalar), eksperimen, dan menyampaikan presentasi tertulis atau lisan.
"Jadi, saya mempertimbangkan masa depan. Saya akan mendorong kompetensi itu agar generasi muda sekarang dapat membeli masa depan dengan ¿harga¿ sekarang," katanya.
Hapus jalur tulis SNMPTN
Rencana pemerintah menghapus seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri jalur ujian tulis dibatalkan. Tahun depan 30 persen dari total kuota mahasiswa baru, sekitar 120 ribu kursi, dialokasikan untuk saringan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur ujian tulis.
Wacana penghapusan SNMPTN jalur ujian tulis sempat mencuat setelah pelaksanaan SNMPTN 2012 beberapa waktu lalu. Saat itu, pemerintah membagi seleksi masuk kampus negeri hanya melewati SNMPTN jalur undangan sebesar 60 persen dari kuota mahasiswa baru nasional dan seleksi jalur mandiri sebesar 40 persen.
Menurut Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Rochmat Wahab, skenario awal pembagian saringan masuk calon mahasiswa baru tadi sudah dikoreksi. Aturan tadi tidak berpihak pada lulusan SMA yang lama (bukan tahun berjalan, red).
Dia menyebutkan, "Jika skema tadi dijalankan maka yang berhak mengikuti SNMPTN jalur undangan hanya lulusan SMA tahun berjalan saja. "Ini tidak adil karena menutup kesempatan lulusan SMA dua tahun sebelumnya," katanya.
Akhirnya, komposisi seleksi masuk kampus negeri diperbaiki. Kkuota SNMPTN jalur undangan kini sebesar 50 persen, SNMPTN jalur ujian tulis 30 persen, dan jalur ujian mandiri (yang dilaksanakan masing-masing kampus) 20 persen.
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur ujian tulis ini tetap akan diikuti lulusan SMA tahun berjalan dan lulusan dua tahun sebelumnya. Dengan demikian, lulusan SMA yang lama masih memiliki peluang untuk masuk ke PTN melalui jalur SNMPTN.
Mendikbud M. Nuh berharap, skema baru ini bisa berjalan dengan baik. "Kuota untuk SNMPTN jalur undangan yang kami tingkatkan menjadi 50 persen, jangan dianggap negatif," katanya.
Ketika pemerintah meningkatkan alokasi SNMPTN jalur undangan yang menitikberatkan hasil rapor dan Unas, banyak pihak merespon negatif. Menurut mereka, hasil evaluasi rapor dan unas tidak bisa untuk menjadi acuan pemetaan kemampuan calon mahasiswa.
"Sekarang yang mau menerima mahasiswa (PTN-red) setuju kok. Apakah orang-orang yang protes itu yang akan menampung mahasiswa baru?" katanya.
Sementara itu, Rektor Undip Prof Sudharto P. Hadi menilai, SNMPTN undangan merupakan bentuk pengakuan perguruan tinggi terhadap hasil belajar siswa berdasarkan nilai rapor. Karena itu, kepercayaan yang diberikan perguruan tinggi harus dibalas dengan kejujuran oleh pihak sekolah.
"Persoalannya, ada hasil belajar siswa yang sengaja 'dimanipulasi' agar bisa masuk SNMPTN undangan. Kemudian, proses UN yang cenderung berorientasi target kelulusan 100 persen. Target kuantitatif yang menyulitkan kami yang menerima," kata Sudharto.
Pengamat Pendidikan dari Universitas Paramadina Muhammad Abduhzen mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru mengambil kebijakan menghapus ujian tulis pada SNMPTN, karena kondisi nyata yang dihadapi pendidikan nasional masih belum mumpuni menerapkan kebijakan tersebut.
Penghapusan ujian tulis SNMPTN bukanlah cara untuk mengintegrasikan pendidikan menengah dengan pendidikan tinggi, katanya sambil menambahkan bahwa tidak semua lulusan SMA berminat untuk masuk perguruan tinggi.
"Lebih fatal lagi ketika pemerintah menggunakan hasil UN sebagai salah satu alat ukur disamping nilai rapor untuk memperoleh jalur undangan SNMPTN. Kecurangan UN itu sudah luar biasa. Bagaimana mungkin kita mempertaruhkan nasib pendidikan tinggi ke depan jika hasil UN yang digunakan berasal dari proses keliru dan penuh kecurangan," ujarnya.
Kemdikbud mulai 2013 berencana menghapus ujian tulis SNMPTN agar proses seleksi dapat sejalan dengan rencana kementerian itu mengintegrasikan pendidikan menengah dengan pendidikan tinggi, disamping efisiensi waktu dan anggaran.
"Ke depan, calon mahasiswa tak perlu lagi melaksanakan dua kali ujian. Setelah selesai mengikuti dan lulus UN, para siswa dapat langsung dipromosikan oleh sekolah untuk ikut SNMPTN melalui jalur undangan," kata Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud, Djoko Santoso.
Rencana penghapusan ujian tulis pada SNMPTN ini juga disambut baik oleh para guru. Mereka menilai, dengan UN sebagai salah satu syarat untuk masuk PTN, UN jadi ada manfaatnya. "Selama ini antara UN dan tes SNMPTN tidak nyambung dan berdiri sendiri-sendiri," kata guru SMAN 6, Ratna.
Ujian tulis pada SNMPTN dan UN dinilai Ketua PGRI Sulawesi Barat, Muladi, pada dasarnya hampir sama. "Kalau pemerintah mau belajar efektif dan efisien serta percaya pada hasil UN bahkan hasil Ujian Sekolah untuk menilai kualitas siswa, maka tidak perlu lagi ada tes masuk PTN," katanya.
Pro dan kontra dengan masing-masing alasan terus merebak tentang hapus dan tidak dihapuskannya UN serta ujian tulis SNMPTN. Kebijakan, asalkan ditempuh demi kondisi yang lebih baik, dilakukan dengan penuh tanggung-jawab dan dengan risiko seminimal mungkin, bisa saja dilaksanakan.(Z002)
