Regina Safri jadi "pahlawan" orangutan

id Regina Safri, orangutan

Regina Safri jadi "pahlawan" orangutan

Seorang pengunjung mengamati foto orangutan. (FOTO ANTARA)

.....Tujuan akhir saya adalah misi penyelamatan, yakni penyelamatan orangutan dari 'garis merah' (kepunahan) dan penyelamatan manusia dari kerusakan hutan.....
Tanpa maksud berlebihan, apa yang dilakukan seorang pewarta foto muda Regina Safri agaknya memang boleh dibilang melebihi tugasnya sebagai juru foto.

Betapa tidak, fotografer muda itu menghabiskan waktu delapan bulan untuk keluar-masuk rimba di Kalimantan, guna mengabadikan proses konservasi ratusan orangutan hingga pelepasliaran ke alam bebas.

"Paling cepat hanya tiga hari, tapi saya juga pernah berinteraksi di tempat konservasi hingga pelepasliaran di hutan rimba selama hampir satu bulan," ucapnya.

Ya, Rere, begitu sapaan akrabnya, telah melakukan ihtiar sederhana tapi memiliki makna yang begitu agung. Dia tidak sekadar memotret, tapi dia ibarat "pahlawan" di tahun 2012.

"Awalnya, saya melihat pembunuhan dan perdagangan orangutan di televisi, rasanya miris," tuturnya di sela-sela persiapan pameran foto bertajuk 'Orangutan: Rhyme and Blues' di Surabaya, 8 November 2012.

Rasa miris itulah yang mendorong pewarta foto ANTARA Yogyakarta itu ingin melihat langsung mereka di hutan Kalimantan.

Hasilnya, ada ratusan foto orangutan yang merupakan hasil bidikan di dua tempat konservasi orangutan yakni Samboja, Kalimantan Timur dan Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah.

Tidak hanya itu, ia juga mengikuti pelepasliaran orangutan dengan keluar-masuk rimba di Kehje Sewen, Kalimantan Timur, yang kini "disulap" menjadi kebun sawit.

"Banyak rekan di Kalimantan yang menasihati saya untuk hati-hati, karena kalau ketahuan memotret di lahan sawit bisa ditembak," ungkap fotografer muda kelahiran Jakarta itu.

Agaknya, "perjuangan" Rere tidak sesederhana itu. "Saya lakukan semuanya dengan biaya pribadi. Gaji saya, barang-barang elektronik milik saya di kamar kos pun habis untuk 'terbang' beberapa kali ke Kalimantan, termasuk menyewa kendaraan masuk hutan," tukasnya.

Namun, ia bersyukur, karena apa yang dilakukan mendapat dukungan dari sejumlah relawan dari "Borneo Orangutan Survival Foundation" (BOSF), termasuk Oscar Motuloh sebagai Kepala Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA) Jakarta.

"Rere meneriakkan 'klik' peringatan pada manusia, betapa rumah orangutan telah tergerus hutan ekonomi yang tak manusiawi dan beradab," ucap Oscar.

Perjuangan Rere selama berbulan-bulan itu pun tidak sia-sia, karena dia menghasilkan ratusan foto tentang orangutan dari rimba Kalimantan, lalu sebagian hasilnya dipamerkan selama beberapa minggu di Jakarta (1/10) dan Surabaya (9/11).

Ada foto orangutan bernama Wowo yang matanya buta akibat tertembak, dan di tubuhnya ditemukan lima butir peluru yang bersarang. "Itu tidak mudah membidiknya, karena mereka sudah trauma melihat kamera pakai tele yang mirip senjata api, bahkan ada yang menimpuk saya agar saya pergi," papar Rere.

         Misi Penyelamatan
Bagi Rere yang alumnus UPN Veteran Yogyakarta (2001) itu, ratusan foto yang dibidiknya dengan "perjuangan" yang tidak ringan itu agaknya bukan tujuan akhirnya.

"Tujuan akhir saya adalah misi penyelamatan, yakni penyelamatan orangutan dari 'garis merah' (kepunahan) dan penyelamatan manusia dari kerusakan hutan," paparnya.

Rere yang mengawali karir di Majalah 'Kabare' Yogyakarta itu, menjelaskan orangutan sekarang sudah jarang karena "dikalahkan" perkebunan sawit yang telah mengubah hutan-hutan di Kalimantan.

"Saya belum menemukan data yang valid, tapi konon angkanya (jumlah orangutan) tinggal 20.000-an ekor di dunia. Di Sumatera dan Kalimantan juga sudah sangat jarang," kilahnya.

Ia mencontohkan jumlah orangutan yang direhabilitasi di kawasan konservasi di Kalimantan Timur hanya berkisar 200-an ekor, sedangkan di Kalimantan Tengah mencapai 600-an ekor.

"Setelah berinteraksi lebih jauh dengan orangutan, saya menjadi tahu tentang pentingnya kepedulian terhadap penyelamatan orangutan yang memiliki kemiripan DNA dengan manusia hingga 97 persen itu," tegasnya.

Menurut dia, orangutan itu merupakan indikator hutan yang baik atau berkualitas.

"Itu karena 80 persen tanaman yang dimakan orangutan itu bila dikeluarkannya saat buang air besar akan tumbuh, termasuk pohon ulin yang kualitasnya lebih bagus dari pohon jati itu," ujarnya.

Oleh karena itu, penyelamatan orangutan dari upaya pembunuhan induk orangutan untuk tujuan melakukan perdagangan anak orangutan itu juga berarti penyelamatan 80 persen tanaman yang menjadi makanan orangutan dari garis kepunahan.

"Bila ekosistem hutan terjaga, karena tanaman-tanaman di dalamnya lestari, maka dampaknya akan bagus kepada manusia. Jadi, kepedulian kepada orangutan itu bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk hutan dan untuk kehidupan umat manusia itu sendiri," urainya.

Namun, ia prihatin dengan sikap pemerintah yang mengizinkan eks-HPH sebagai lokasi pelepasliaran dengan tarif Rp13 miliar untuk masa pemakaian 60 tahun, padahal BOSF bukanlah lembaga profit.

"Pemerintah seharusnya membantu, karena BOSF berbuat untuk kepentingan masyarakat juga. Saya juga hanya bisa memamerkan foto sambil kampanye pentingnya menjaga hutan dengan melindungi orangutan dan cara-cara peduli lingkungan lainnya," timpalnya.

Namun, Rere tidak hanya berbuat lewat lensa, karena dia juga menyeleksi foto-foto orangutan itu menjadi buku setebal 130 halaman.

"Hasilnya untuk menutupi biaya cetak dan sisanya akan saya donasikan untuk BOSF," ucapnya. Ya, Rere adalah "pahlawan" yang berbuat sebisanya untuk orangutan!.
(E011/C004)