Sebuah tas kecil dilintangkan ke depan dadanya. Cincin batu akik putih besar melingkar pada jari manis tangan kirinya. Demikian pun sandal jepit berwarna hitam ia pakai sebagai alas kaki.
Di hadapannya, tepat di atas sebuah kuburan, tergeletak sapu lidi dan penggunting rumput yang digunakan Dadang untuk merawat kuburan.
Pandangannya kosong, letih membersihkan kuburan-kuburan yang hari itu dikunjungi oleh ribuan peziarah. Ia tau pekerjaannya belum selesai lantaran hari belum gelap dan masih ada kuburan yang harus ia bersihkan. Namun, tidak ada salahnya beristirahat sejenak.
Pria berusia 50 tahun itu berasal dari Karawang, Jawa Barat. Setiap hari Kamis, Dadang berangkat menggunakan sepeda motor dari rumahnya menuju TPU Karet Pasar Baru Barat. Kemudian pada hari Minggu, Dadang kembali pulang ke rumahnya.
Lantaran tak ada tempat menginap di kawasan TPU, Dadang dan para perawat kuburan lainnya kerap beristirahat dan tidur di sela-sela kuburan. Jika hujan turun, mereka melipir ke parkiran TPU hanya agar tidak kebasahan.
Dadang telah bekerja menjadi perawat kuburan sejak 1991, mulai dirinya masih bujang hingga kini Dadang punya tiga istri dan beberapa orang anak. Tak Dadang ceritakan apakah mereka tinggal serumah atau sudah pisah.
Ia pun mengaku tidak pernah mengalami kejadian horor atau menakutkan. Bagi Dadang, kejadian di film-film horor ternyata tidak lebih horor dari pada tidak punya pekerjaan untuk menafkahi keluarganya. Demikian pun waktu istirahatnya jauh lebih berharga dari pada sekadar rasa takut.
Pada awal-awal Dadang bekerja, pekerjaan menggali kubur juga ia lakoni, namun kini pekerjaan itu sudah diambil alih oleh Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Tamhut) Jakarta. Demikian kini Dadang hanya bekerja merawat kuburan, merapikan rumput dan menyapu dedaunan gugur.
Adapun dari ribuan kuburan di TPU Pasar Baru Barat, Dadang bersama sejumlah kawannya mengaku kebagian merawat sekitar 50-an petak kubur.
Pekerjaan yang dilakoni Dadang mewajibkannya menginap untuk menjaga kubur-kubur yang dirawatnya. Meskipun tidak ada yang bakal mencuri batu nisan, Dadang mesti siaga lantaran ahli waris atau penyewa kuburan bisa datang kapan saja, pagi atau sore hari, sehingga kuburan harus tetap bersih.
Biasanya Dadang akan menawari jasanya kepada ahli waris atau kerabat orang yang sudah meninggal terkait biaya perawatan. Dari satu kuburan, Dadang bisa mendapat hingga Rp35 ribu per bulan.
Hasil negosiasi pun kerap kali berakhir tidak seperti yang diharapkan Dadang dan kawan-kawan. Dadang mengaku kadang ada ahli waris yang pelit dan tak sudi membayar sesuai harga yang ditawarkan Dadang.
Namun dengan sekian banyak dinamika pekerjaannya itu, Dadang tetap mampu membiayai kebutuhan hidup keluarganya.
Entah sampai kapan fisik Dadang yang telah berusia 50 tahun itu tetap bisa bermotoran dari Karawang menuju Jakarta, lalu ke Karawang lagi, lalu ke Jakarta lagi, begitu terus.
Jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, hujan gerimis jatuh dari TPU Karet Pasar Baru Barat. Sebagian peziarah bertahan di kuburan kerabat mereka, sebagian lagi sontak melipir, beranjak dari area kuburan untuk mencari tempat berteduh.
Berbeda dengan para peziarah, Dadang dan kawan-kawan malah kembali membersihkan kuburan. Entah itu cara mereka untuk mempromosikan pekerjaannya, ataukah hanya waktu ziarah yang bertepatan dengan waktu mereka bekerja.
Sejumlah peziarah yang bermurah hati pun nampak membagikan uang kepada para perawat kuburan yang kebetulan lewat. Bentuk sederhana dari amal dan doa yang berjalan beriringan.
Barang kali para peziarah itu berpikir bahwa mereka hanya sesekali mengunjungi makam kerabatnya, namun para perawat makam benar-benar tinggal di tempat itu.
Hujan gerimis semakin tidak bersahabat. Para peziarah mulai meninggalkan area TPU. Namun para perawat kuburan masih di sana, kembali mengais rupiah, merawat rumah orang-orang yang sudah meninggal dunia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengais kehidupan dari rumah orang mati