Pelajar yang melanggar aturan tentu dikenakan sanksi. Soal sanksi, imbuh Manalu, nanti ada kerja sama dengan pihak sekolah. Yang terpenting baginya, aturan ini berjalan dulu.
Edaran larangan ini mengacu pada surat Nomor 500.11.1/021/100.05 dan Undang-Undang LLAJ Nomor 22/2009 pasal 81 ayat (2) huruf a, yang mengatur bahwa individu belum genap berusia 17 tahun diduga belum memiliki SIM C untuk mengemudikan kendaraan roda dua.
Saipul Bahtiar, akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman (Unmul), menilai kebijakan ini perlu dikaji lebih lanjut. Ia menyoroti pentingnya solusi komprehensif dari Pemkot Samarinda, termasuk rekayasa lalu lintas dan penyediaan angkutan umum.
"Apakah melarang siswa membawa kendaraan ke sekolah menjadi solusi terakhir bagi Pemkot Samarinda untuk mengurangi kemacetan dan menekan jumlah kecelakaan?," tanya Saipul.
Ia juga menyoroti perlunya mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap orang tua yang tidak dapat mengantar anak mereka ke sekolah. "Motor menjadi solusi bagi orang tua yang sibuk. Kebijakan ini harus dibarengi dengan solusi dari Pemkot, seperti menyediakan angkutan umum," jelasnya.
Saipul mengingatkan bahwa Samarinda adalah kota besar yang sedang berkembang menuju kota metropolitan. Perkembangan ini harus diimbangi dengan fasilitas umum, termasuk angkutan massal untuk kaum pelajar.
Ia menyayangkan minimnya fasilitas angkutan umum di Samarinda. "Dulu, di era 80-90an, ada halte dan titik pemberhentian kendaraan umum di sekolah dan kampus. Sekarang, halte yang representatif bisa dihitung dengan jari," ungkapnya.
Saipul mendesak Pemkot Samarinda untuk menyediakan solusi nyata, seperti angkutan umum, dan melibatkan pemerintah provinsi dalam penanganannya. "Ini bisa dilakukan dengan skema sharing anggaran antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota," usulnya.