KUR serta jalan panjang menuju efektivitas penyaluran

id Kredit usaha rakyat, KUR,grameen bank,muhammad yunus,hadiah nobel,usaha mikro,umkm,perkuatan modal,sumber pembiayaan,pen

KUR serta jalan panjang menuju efektivitas penyaluran

Pedagang melayani pesanan pembeli di Pasar Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Selasa (7/1/2025). Kantor wilayah Ditjen Perbendaharaan (DJPb) Sulawesi Tenggara mencatat realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) di wilayah itu periode Januari-Desember 2024 mencapai Rp4,12 Triliun dengan jumlah debitur 82.341 orang yang didominasi sektor perdagangan besar dan eceran. ANTARA FOTO/Andry Denisah/YU

KUR, dalam segala kelebihannya, kerap dipahami secara dangkal sebagai pemberian modal semata. Padahal, esensinya lebih dari itu.

Ini tentang membuka akses, menciptakan peluang, dan memberi ruang bagi UMKM untuk tumbuh, bahkan melompat lebih jauh.

Namun, dalam praktiknya, program ini memang masih sering terkendala oleh pendekatan yang cenderung seragam.

Sebuah warung kelontong di pinggir kota misalnya, membutuhkan dukungan yang berbeda dibandingkan petani di pelosok desa.

Begitu pula seorang perajin di sentra industri rumahan membutuhkan skema yang tak sama dengan pelaku usaha jasa di kota besar. Kenyataan ini menunjukkan satu hal, fleksibilitas KUR yang masih menjadi pekerjaan rumah.

Di lapangan, KUR sering kali terlihat hanya mengalir ke mereka yang "cukup siap". Artinya, pelaku UMKM yang telah memiliki akses ke perbankan lebih mudah mendapatkan bantuan ini dibandingkan mereka yang belum terjangkau sistem formal.

Padahal, kelompok yang tidak terjangkau inilah yang sering kali paling membutuhkan bantuan. Mereka adalah petani kecil, nelayan, atau pedagang kaki lima yang terbatas aksesnya pada teknologi maupun edukasi keuangan.

Maka kemudian pekerjaan rumah ke depan adalah menjadikan KUR terus sejalan dengan tujuan inklusivitas ekonomi.



Pendekatan progresif

Namun, di balik semua ini, ada ruang untuk melihat peluang. Bagaimana jika KUR dirancang dengan pendekatan yang lebih progresif, melampaui sekadar skema pembiayaan?

Pemerintah misalnya bisa mulai memanfaatkan teknologi untuk memperluas akses, bukan hanya bagi UMKM yang sudah terkoneksi, tetapi juga bagi mereka yang berada di luar jangkauan perbankan.

Aplikasi berbasis lokal, misalnya, juga bisa menjadi alat untuk tidak hanya menyalurkan dana, tetapi juga memberi pelatihan, membangun jaringan pasar, hingga memberikan pendampingan bisnis.

Bayangkan aplikasi sederhana yang dapat digunakan bahkan oleh petani yang hanya akrab dengan ponsel fitur dasar, lengkap dengan panduan dalam bahasa daerah.

Selain teknologi, fleksibilitas kebijakan juga patut menjadi prioritas. Alih-alih menerapkan skema satu ukuran untuk semua, pemerintah dapat mengembangkan model pinjaman yang disesuaikan dengan karakteristik usaha.

Petani yang tergantung pada musim panen, misalnya, memerlukan tenor pinjaman yang berbeda dari pengusaha ritel.

Jika KUR dirancang lebih responsif terhadap kebutuhan spesifik ini, dampaknya sangat mungkin bisa jauh lebih signifikan.

Bangsa ini juga tidak bisa mengabaikan potensi komunitas sebagai ujung tombak distribusi KUR. Selama ini, bank masih menjadi saluran utama, padahal koperasi (meskipun sudah ada koperasi simpan pinjam, KUD, dan credit union yang sudah menyalurkan secara channeling), lembaga adat, atau organisasi masyarakat setempat dapat memainkan peran yang tak kalah penting.

Dengan melibatkan komunitas, distribusi dana dapat lebih personal, kontekstual, dan bahkan lebih efektif.

Lebih dari itu, komunitas bisa menjadi pendamping bagi pelaku UMKM dalam mengelola keuangan dan merencanakan pengembangan usaha.

Namun, semua harus perlu tetap jujur. Target Rp300 triliun bukanlah perkara kecil. Pemerintah harus memastikan transparansi dalam penyaluran, mengingat risiko kebocoran selalu mengintai dalam program besar seperti ini.

Audit yang berkala dan komprehensif menjadi keharusan, bukan sekadar formalitas. Selain itu, evaluasi berkala harus dilakukan, dengan keberanian untuk mengakui jika suatu skema tidak berhasil, dan dengan cepat beradaptasi pada pendekatan yang lebih efektif.

Yang juga tak boleh dilupakan adalah pandangan jangka panjang. Selama ini, KUR sering dianggap sebagai solusi tunggal untuk UMKM, padahal ia hanyalah satu alat dalam kerangka besar pembangunan ekonomi.

Tanpa memperhatikan aspek lain seperti akses pasar, infrastruktur, dan pendidikan kewirausahaan, KUR hanya akan menjadi kebijakan yang berjalan di tempat.

Semua butuh pendekatan yang lebih holistik, di mana KUR menjadi bagian dari strategi yang saling mendukung.

Kritik terhadap KUR bukan berarti menafikan keberhasilan program ini. Sebaliknya, kritik adalah wujud dukungan pada kebijakan yang memiliki potensi besar, namun masih bisa lebih dioptimalkan.

Target Rp300 triliun bisa jadi bukan sekadar harapan jika semua pihak berani keluar dari cara berpikir lama.

Sebuah program yang lebih responsif, fleksibel, dan berorientasi pada kebutuhan lokal bukan hanya akan membuat angka tersebut tercapai, tetapi juga memastikan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh mereka yang paling membutuhkan.

Pada akhirnya, KUR adalah soal harapan. Harapan bahwa setiap usaha kecil memiliki peluang besar untuk tumbuh.

Harapan bahwa ekonomi Indonesia tidak hanya berkembang secara statistik, tetapi benar-benar dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.

Dan, harapan bahwa Indonesia, sebagai bangsa, mampu terus belajar, beradaptasi, dan menghadirkan kebijakan yang tak hanya besar dalam angka, tetapi juga mendalam dari sisi dampak dan efektif dari sisi penyaluran.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: KUR dan jalan panjang menuju efektivitas penyaluran