Jakarta (ANTARA) - Replikasi adalah salah satu taktik tertua dalam peperangan, dengan memanfaatkan ketergantungan manusia pada identitas untuk kepercayaan dan kerja sama.
Strategi kuno ini terus bertahan karena efektivitasnya, dan teknologi baru hanya meningkatkan potensinya, memungkinkan replikasi wajah, suara, dan ciri pribadi lain yang sebelumnya menjadi pengenal yang dapat diandalkan.
Seperti yang diungkapkan oleh sejarah dan peristiwa terkini, mimikri adalah alat multifungsi yang melampaui medan perang, menyusup ke domain lain seperti keuangan dan pemerintahan. Bagi negara seperti Indonesia, memahami taktik ini dan implikasinya sangat penting untuk merumuskan langkah-langkah penanggulangan yang efektif.
Operasi intelijen Mossad Israel pada pertengahan September melawan para pejuang Hezbollah merupakan salah satu penggunaan taktik replikasi paling cerdik dalam sejarah modern.
Dengan menyematkan bahan peledak plastik pada penyeranta (pager) yang dirancang khusus dan memasarkannya melalui pemasok yang tidak menyadari, Mossad memberikan pukulan telak. Operasi ini menegaskan kebenaran mendasar: senjata paling ampuh dalam perang bukanlah pesawat nirawak atau drone canggih atau kecerdasan buatan, melainkan strategi kuno berupa mimikri.
Replikasi secara historis memainkan peran sentral dalam peperangan. Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 2022, pasukannya menyamar sebagai unit Ukraina untuk menghindari deteksi.
Selain pertempuran, mimikri atau replikasi membantu kegiatan mata-mata, pencurian, dan sabotase. Mata-mata Bulgaria yang ditangkap di Inggris ditemukan membawa paspor dari sembilan negara berbeda, menyoroti penggunaan identitas tiruan dalam dunia spionase.
Meskipun replikasi sudah lama tertanam dalam strategi militer, penerapannya telah meluas ke domain lain seperti keuangan dan pemerintahan. Munculnya teknologi deepfake memungkinkan tingkat penipuan yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama di sektor perbankan.
Indonesia, sebagai negara yang bertumbuh dengan pesat, sangat rentan terhadap serangan berbasis peniruan. Peningkatan digitalisasi menciptakan peluang baru bagi penipu untuk mengeksploitasi celah dalam infrastruktur keamanan siber negara.
Sektor keuangan telah melihat lonjakan kasus pencurian identitas, di mana penjahat menggunakan kredensial yang dicuri untuk menguras rekening bank atau mengamankan pinjaman palsu.
Selain itu, replikasi/ peniruan telah digunakan untuk merongrong stabilitas politik. Akun media sosial palsu dan video deepfake dari pejabat publik telah beredar selama kampanye pemilu, menabur ketidakpercayaan di antara pemilih. Taktik ini tidak hanya mengancam proses demokrasi tetapi juga menimbulkan tantangan yang lebih luas terhadap keamanan nasional.
Implikasi kebijakan untuk Indonesia
Untuk memerangi ancaman replikasi/peniruan yang semakin meningkat, Indonesia harus mengadopsi pendekatan multifaset yang mencakup langkah-langkah regulasi, teknologi, dan pendidikan. Berikut adalah rekomendasi kebijakan yang dapat membantu mengurangi risiko ini.
Pertama, memperkuat kerangka keamanan siber. Pemerintah harus menetapkan standar keamanan siber yang ketat untuk lembaga keuangan dan sektor kritis lainnya. Ini termasuk otentikasi multi-faktor wajib, audit keamanan secara berkala, dan penerapan sistem pemantauan berbasis AI untuk mendeteksi perilaku anomali secara seketika atau real-time.
Kedua, mengembangkan alat deteksi deepfake nasional. Indonesia dapat berinvestasi dalam penelitian AI untuk menciptakan alat yang mampu mengidentifikasi deepfake dan bentuk peniruan digital lainnya. Bekerja sama dengan mitra internasional dan perusahaan teknologi akan mempercepat pengembangan teknologi ini.
Ketiga, meningkatkan kesadaran publik. Kampanye pendidikan publik sangat penting untuk menginformasikan warga tentang risiko peniruan. Program pelatihan untuk karyawan di sektor berisiko tinggi, seperti keuangan dan kesehatan, harus menekankan pengenalan dan respons terhadap serangan rekayasa sosial.
Keempat, membentuk satgas khusus. Unit khusus dalam Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dapat fokus pada kejahatan yang terkait dengan replikasi. Satgas ini akan berkoordinasi dengan penegak hukum, perusahaan swasta, dan badan internasional untuk menghadapi ancaman yang berkembang.
Kelima, reformasi hukum dengan memperbarui undang-undang yang ada untuk menangani replikasi di era digital sangat penting. Pemerintah harus mengkriminalisasi penggunaan teknologi deepfake untuk tujuan penipuan dan memberlakukan hukuman berat bagi pelaku.
Keenam, mendorong inovasi verifikasi identitas. Mendorong penggunaan otentikasi biometrik dan teknologi blockchain dapat meningkatkan proses verifikasi identitas, mengurangi risiko replikasi.
Kekuatan replikasi terletak pada kemampuannya untuk mengeksploitasi kepercayaan, landasan kerja sama manusia. Dari medan perang hingga ruang dewan, mimikri tetap menjadi alat manipulasi yang ampuh. Seiring berkembangnya teknologi, begitu pula taktik mereka yang menggunakannya, menciptakan perlombaan senjata yang berkelanjutan antara peniru dan penangkal.
Bagi Indonesia, taruhannya tinggi. Kegagalan untuk mengatasi tantangan ini dapat merusak pertumbuhan ekonomi, kepercayaan publik, dan keamanan nasional. Namun, dengan secara proaktif menerapkan langkah-langkah penanggulangan yang kuat, negara ini dapat membalikkan keadaan melawan taktik kuno ini, memastikan masa depan yang lebih aman dan terjamin bagi warganya.
Replikasi sama tuanya dengan perang itu sendiri, namun relevansinya hanya tumbuh di dunia yang saling terhubung saat ini. Baik melalui spionase licik, penipuan keuangan, atau penipuan digital, mimikri terus membentuk dinamika konflik dan kerja sama.
Saat Indonesia dan negara lain bergulat dengan ancaman ini, pelajaran dari sejarah mengingatkan kita bahwa kewaspadaan, inovasi, dan kolaborasi merupakan pertahanan paling efektif kita.
*) Dr.Aswin Rivai,SE.,MM adalah pemerhati ekonomi dan Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Replikasi digital, ancaman bagi Indonesia