Menulis sastra untuk melembutkan dan menyehatkan jiwa

id Menulis karya sastra, Menulis sastra, menulis untuk terapi,Menulislah,Dr Sutejo,STKIP PGRI Ponorogo

Menulis sastra untuk melembutkan dan menyehatkan jiwa

Suasana kegiatan "Literacy Camp" yang digelar oleh Sutejo Spectrum Center (SSC) di Rumah Buku di Ponorogo, Jawa Timur, Senin (9/12/2024). (HO-Dokumen Dr Sutejo)

Surabaya (ANTARA) - Hingga pukul 22.30 WIB, 10 siswa asal sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kabupaten Malang, Jawa Timur, masih semangat mendiskusikan karya cerita pendek atau cerpen yang mereka tulis dengan para tutor di Rumah Buku di Kota Ponorogo.

Perjalanan sejak pukul 06.30 dari Malang dan tiba di Ponorogo pukul 11.45 atau sekitar 5 jam dengan kendaraan minibus, tidak membuat mereka lelah, apalagi ngantuk, untuk terus membahas karyanya.

Dr Sutejo, MHum, tutor utama dari Komunitas Sutejo Spectrum Center (SSC) dan pemilik Rumah Buku Ponorogo membuat program "Literacy Camp" bersama dengan SMK Putra Indonesia Malang (PIM), dari 9 hingga hingga 11 Desember 2024.

SMK itu memilih 10 siswa yang dinilai betul-betul memiliki minat pada bidang sastra untuk mengikuti kegiatan dengan konsep "celup" atau terjun langsung dalam praktik menulis dan dibersamai oleh para penulis yang telah berpengalaman.

Dengan konsep berkemah di satu tempat selama 3 hari, meskipun tidak mendirikan tenda di areal terbuka, seperti kemah pada umumnya, 10 siswa itu dimbing langsung oleh Sutejo untuk menghasilkan, setidaknya satu karya cerpen, kemudian dibahas bersama.

Sutejo, yang akrab disapa Kang Tejo, dan merupakan dosen di lingkungan LLDIKTI VII Jawa Timur, selama ini dikenal sebagai penggerak literasi, baik di Ponorogo, Jawa Timur, maupun di tingkat nasional. Ia mengerjakan program tersebut tanpa berorientasi keuntungan finansial, karena diniatkan untuk mensyukuri nikmat Allah kepada dirinya yang diberi kemampuan untuk menulis.

Beberapa tahun lalu, ia menggagas Sekolah Literasi Gratis (SLG) yang memfasilitasi para mahasiswa atau masyarakat lainnya untuk belajar menulis, dengan menghadirkan sejumlah penulis terkemuka ke Ponorogo.

Setelah sempat berjalan beberapa tahun, SLG sempat jeda, terutama ketika Indonesia dilanda pandemi COVID-19.

Sutejo dengan tim sempat berhenti dalam upaya menggerakkan literasi, meskipun secara pribadi ia tetap menulis, terutama cerpen, puisi, dan artikel ilmiah populer di media. Secara informal ia juga melayani orang yang membutuhkan bimbingan terkait menulis.

Pakar sastra itu kemudian larut dalam aktivitas berkebun di pekarangan yang diperkenalkan sebagai rumah kebun.

Tanaman singkong dan uwinya di pekarangan itu membuat banyak pihak takjub karena hasil umbinya yang sangat besar. Banyak yang heran karena seorang doktor bidang sastra ternyata juga bisa berkebun dengan hasil yang bagus. Satu batang uwi bisa menghasilkan umbi seberat 50 gram.

Baru beberapa bulan ini, Sutejo kembali melaksanakan program terkait literasi. Beberapa hari lalu ia menggelar diskusi tentang menulis untuk terapi dan melindungi diri, khususnya bagi kaum perempuan, dengan menghadirkan narasumber seorang penulis, Okky Madasari, PhD.

Sutejo sepakat bahwa menulis itu memang bisa dijadikan sarana untuk pelepasan beban jiwa seseorang, terlebih anak muda yang kini banyak terganggu oleh berbagai persoalan sosial, baik dengan teman maupun dengan keluarga. Pada acara "Literacy Camp" itu, seorang siswa perempuan Keisha Dealova menulis cerpen dengan judul "Jiwa yang meminta mati".

Cerpen itu bercerita tentang seorang siswa yang terhimpit masalah, bahkan hingga hendak bunuh diri karena mendapatkan perundungan dari temannya. Keisha menunjukkan empati dengan menampung temannya itu mencurahkan isi hati (curhat) yang kemudian ditulisnya menjadi cerpen.

Sutejo dan guru pendamping setuju siswa tersebut menulis cerpen yang diangkat dari kisah nyata. Bukan sekadar berlatih menulis sastra, karya itu nantinya juga akan semakin menguatkan teman Keisha untuk bangkit dan keterpurukan jiwa. Tentu, di cerpen itu, identitas subjek yang mengalami masalah tidak disebutkan.

Selain banyak literatur dan para ahli jiwa serta praktisi menulis yang menyebutkan bahwa menulis itu bisa menjadi sarana katarsis untuk pelepasan beban jiwa, Sutejo sendiri sangat yakin bahwa menulis itu memang bisa menyembuhkan.

"Saya sendiri pernah menghadapi masalah berat, yang mungkin bagi orang lain bukan sebagai masalah, hingga saya merasa frustasi. Saya waktu itu berkelana, naik turun kendaraan umum, termasuk menumpang truk, sampai ke Banyuwangi, lalu ke Banten. Kondisi saya waktu itu mungkin setengah gila. Biasa, waktu itu masalah anak muda, asmara," katanya tertawa , saat bercerita kepada ANTARA.

Karena dari pengelanaan itu tidak membawa hasil, Sutejo akhirnya kembali ke kebiasaan lama semasa kuliah, yakni menulis. Ia menuangkan semua beban jiwanya lewat cerpen dan puisi. Akhirnya, ia sembuh dan kembali mengajar, bahkan bisa melanjutkan kuliah hingga jenjang doktoral (S3) sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Karena itu, ia berkesimpulan bahwa menulis, khususnya cerpen dan puisi, adalah obat ampuh untuk menyembuhkan jiwa.

Sutejo juga menguraikan bagaimana menulis itu bisa menghidupkan kembali jiwa yang awalnya sudah berada di posisi "hidup segan mati tak mau".

Ketika seseorang mengalami masalah, maka jiwanya terganggu. Pada akhirnya, pikiran bawah sadar seseorang memberi "stempel" atau penghakiman bahwa dirinya memang bermasalah dan sudah tidak mampu menghadapi masalah itu.

Menulis sastra bisa menjadi simulator pikiran bawah sadar. Ketika seseorang menulis, yang diangkat dari pengalaman diri menyakitkan itu, maka jiwanya kembali hidup karena memandang peristiwa yang dihadapi dengan penuh kontrol. Jiwa seseorang sudah berjarak dengan hal yang dianggap masalah. Apalagi, jika dalam kisah yang ditulis menjadi cerpen ada "manipulasi" bahwa si tokoh itu kuat menghadapi sesuatu yang awalnya dianggap masalah, menjadi lebih netral.

"Meskipun ini hanya 'manipulasi' dari fakta sesungguhnya, tapi alam bawah sadar seseorang tidak bisa membedakan mana fakta sesungguhnya dengan fakta buatan. Maka, peristiwa yang sebelumnya dianggap masalah menjadi bukan lagi masalah. Di posisi itulah jiwa penulis menjadi plong, lega," kata akademikus yang juga praktisi hipnoterapi ini.

Kembali ke 10 siswa asal Malang yang kini "nyantrik" di komunitasnya, Kang Tejo memang juga mengarahkan mereka agar melatih kepekaan dan kehalusan jiwa, sehingga mereka menjadi pribadi yang sehat, peduli terhadap sesama, sekaligus mengasah keterampilan untuk menulis.

Mengenai sistem pendampingan untuk membuat cerpen, kegiatan kemah seperti ini sangat efektif untuk menumbuhkan semangat menulis bagi kaum remaja.

Selain Sutejo, dua penulis lainnya juga ikut membersamai para peserta kemah, yakni Sapta Arif NW, MPd (dosen yang cerpenis) dan Arafat Nur (sastrawan asal Aceh yang kini tinggal di Ponorogo). Beberapa novel karya Arafat Nur mendapatkan penghargaan sastra tingkat nasional.

Selain itu, para siswa juga dibersamai oleh beberapa mahasiswa yang juga anak asuh Sutejo dan kini sudah banyak menghasilkan karya sastra, yakni Nur Imaniah Purnama (mahasiswa asal Pamekasan, Madura) dan kawan-kawan.

Dengan banyaknya tutor yang mendampingi, kegiatan literasi itu akan membuat para merasa enjoy, apalagi juga melibatkan tutor sebaya, yakni para mahasiswa.

Diana Muhayanti, MPd, guru Bahasa Indonesia, yang mendampingi para siswa itu mengaku bahagia bisa mengantarkan dan menemani para siswanya untuk belajar langsung kepada pakar di bidang sastra.

Ia mengaku bersyukur mendapatkan kesempatan langka untuk mempertemukan anak-anak didiknya dengan penulis yang dengan tulus mau berbagi ilmu, waktu, dan tenaganya untuk orang lain secara gratis.

Sementara itu, Keisha Dealova, siswa kelas 11, mengaku sangat suka dengan program ini karena bisa didampingi langsung oleh praktisi dan ahli dalam menulis cerpen.

Saat datang di rumah buku, ia terkagum-kagum karena koleksi buku di tempat "camp" itu yang mencapai ribuan judul. Rumah yang ditempati sebagai sarana berkegiatan dan menginap itu , bahkan tampak seperti perpustakaan.

Ia berterima kasih kepada Sutejo dan para tutor lainnya, serta guru dan pemimpin sekolahnya yang telah memberikan kesempatan bagus untuk pengembangan diri, bersama teman-temannya.

Melihat rumah buku itu, ia juga bermimpi kelak memiliki rumah yang dipenuhi dengan buku, hingga menjadi perpustakaan pribadi. Ia juga ingin mengikuti jejak Sutejo yang banyak mendedikasikan hidupnya untuk banyak membantu orang lain.

Bagi Sutejo sendiri, kegiatan pelatihan menulis ini telah menjadi bagian dari hidupnya, dengan niat agar dirinya bermakna bagi orang lain.

Dia mengaku ingin memberikan sesuatu di bidang tulis menulis kepada masyarakat, bahkan bukan hanya di Ponorogo. Ia mempersilakan siapapun yang ingin berkunjung dan belajar di Rumah Buku miliknya. Ia juga ingin bermakna dalam ikhtiar bersama dan bangsa ini untuk mewujudkan Generasi Indonesia Emas 2045 lewat gerakan literasi.



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menulis sastra untuk melembutkan dan menyehatkan jiwa