Peneliti: Penurunan realisasi cukai hasil tembakau perlu dievaluasi
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menilai penurunan realisasi cukai hasil tembakau (CHT) dan produksinya perlu dievaluasi, terutama jika kenaikan cukainya terlalu tinggi.
Heri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, mengatakan kenaikan cukai yang fluktuatif hingga eksesif dapat mempengaruhi penurunan penerimaan yang jauh lebih besar lagi.
Meskipun sudah ditetapkan sistem multiyears yang memudahkan pelaku usaha, Heri mengatakan besaran tarifnya juga harus diperhatikan dan jangan terlalu eksesif.
"Cukai kan bergantung pada CHT, jadi kenaikan ke depan harus hati-hati betul jangan sampai penerimaan cukai justru tidak optimal," ucapnya.
Kebijakan CHT yang berlaku saat ini baik dari sisi tarif dan strukturnya dinilai belum efektif dalam menekan prevalensi perokok dan mengoptimalkan penerimaan negara.
Dalam paparan APBN Kita edisi Mei 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan penerimaan cukai mengalami penurunan sebesar 0,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang dipicu oleh merosotnya penerimaan CHT yang merupakan kontributor mayoritas penerimaan cukai.
Sementara itu, kebijakan kenaikan CHT sebesar 10 persen di 2024 dinilai tidak efektif dengan perpindahan konsumsi ke rokok yang lebih murah dan rokok ilegal yang terlihat dari penurunan golongan 1 sebesar 3 persen year-on-year, tetapi terjadi kenaikan di golongan 2, yaitu 14,2 persen year-on-year.
Heri dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, mengatakan kenaikan cukai yang fluktuatif hingga eksesif dapat mempengaruhi penurunan penerimaan yang jauh lebih besar lagi.
Meskipun sudah ditetapkan sistem multiyears yang memudahkan pelaku usaha, Heri mengatakan besaran tarifnya juga harus diperhatikan dan jangan terlalu eksesif.
"Cukai kan bergantung pada CHT, jadi kenaikan ke depan harus hati-hati betul jangan sampai penerimaan cukai justru tidak optimal," ucapnya.
Kebijakan CHT yang berlaku saat ini baik dari sisi tarif dan strukturnya dinilai belum efektif dalam menekan prevalensi perokok dan mengoptimalkan penerimaan negara.
Dalam paparan APBN Kita edisi Mei 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan penerimaan cukai mengalami penurunan sebesar 0,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang dipicu oleh merosotnya penerimaan CHT yang merupakan kontributor mayoritas penerimaan cukai.
Sementara itu, kebijakan kenaikan CHT sebesar 10 persen di 2024 dinilai tidak efektif dengan perpindahan konsumsi ke rokok yang lebih murah dan rokok ilegal yang terlihat dari penurunan golongan 1 sebesar 3 persen year-on-year, tetapi terjadi kenaikan di golongan 2, yaitu 14,2 persen year-on-year.