Nada-nada WR Soepratman yang menghunjamkan jiwa

id wr soepratman,antea putri turk,hari pahlawan,indonesia raya

Nada-nada WR Soepratman yang menghunjamkan jiwa

Antea Putri Turk, cicit buyut dari Ngadini Soepratini, yang merupakan kakak kandung WR Soepratman, membawakan lagu "Selamat TInggal" dalam konser "Peluncuran Album Perdana Lagu-lagu Ciptaan WR Soepratman" di Gedung Sapta Pesona Jakarta, Jumat (10/11). ANTARA/Ahmad Faishal


Menyatukan kepingan kisah

Pada pergelaran "Peluncuran Album Lagu-lagu WR Soepratman" malam itu, Antea Putri Turk mendapatkan mandat untuk membawakan sebanyak lagu 12 buah peninggalan WR Soepratman, termasuk dua buah karya istimewa bertajuk "Indonesia Hai Iboekoe" dan "Indonesia Tjantik". Kedua karya tersebut mengacu pada deret syair dan lirik milik WR Soepratman dengan melodi ciptaan Antea sendiri.

Tanpa melalui proses berliku, Antea menciptakan melodi lagu “Indonesia Hai Iboekoe” yang berdurasi total sekitar 1 menit 50 detik pukul 10 malam pada 4 April 2023 silam. Adapun melodi lagu “Indonesia Tjantik” dengan nada dasar B flat, diciptakan Antea dengan mengacu pada lagu-lagu bernuansa keroncong era 1920-an.

Salah satu metode yang diterapkan oleh Antea dalam proses menciptakan melodi berbekal lirik WR Soepratman adalah dengan memandangi lekat-lekat sebuah poster besar bergambar sosok sang legenda di studio musik rumahnya. Dengan cara semacam itu, Antea mencoba membayangkan seperti apa jenis musik yang memengaruhi pemikiran seorang WR Soepratman. Selain menulis kembali lagu “Indonesia Hai Iboekoe” dan “Indonesia Tjantik”, Antea bersama Yayasan WR Soepratman juga berupaya mengenalkan kembali melodi asli lagu “Matahari Terbit” yang baru saja ditemukan dari buku koleksi keluarga.

“Melodi lagu itu ditulis oleh beliau, saya mendengarnya merasa seperti lagu Disney, lebih klasik. Lagu itu ditulis dalam bentuk not balok dan notasi bernomor. Lalu saya coba mainkan di piano agar tahu seperti apa nadanya. Ternyata, melodinya beda banget dari lagu yang asli yang selama ini semua orang tahu,” kata Antea dengan gaya berbahasa Indonesia yang sedikit kaku namun terbilang lancar.

Upaya mencari dan menggali kembali karya sang maestro yang diperkirakan berjumlah 15 lagu, bukannya tanpa aral. Sejak lima tahun lalu, pihak Yayasan WR Soepratman berupaya keras untuk menyatukan kepingan karya sang legenda yang terserak, tidak hanya di dalam negeri bahkan hingga ke Negeri Kincir Belanda.

Usaha tersebut semakin intensif dilakukan setahun belakangan ini, hingga akhirnya sebanyak 12 karya sang komposer berhasil terkumpul. Salah satunya adalah narasi panjang “Indonesia Tjantik” yang menjadi lagu berdurasi sekitar 4 menit.

“Kami coba meminta bantuan Kedutaan Besar RI di Belanda dan dua mahasiswa Indonesia yang sekarang belajar di Leiden untuk mencari lagu dan peninggalan lain WR Soepratman, namun tidak berhasil. Akhirnya, kami mencari dari buku dan koran-koran lama,” ujar Ketua Harian Yayasan WR Soepratman Dario Turk yang tak lain adalah ayah Antea.

Dario mengatakan bahwa sejak kali pertama datang ke Jakarta pada tahun 1987, dirinya melihat bahwa banyak hal yang telah mengubah kota tersebut. Dia merasa optimistis bahwa gelaran musik kali ini dapat membuat sosok WR Soepratman lebih dekat dengan masyarakat Indonesia.

“Tahun 1987 hanya ada sedikit mobil, banyak becak, Bajaj, dan bemo di Jakarta. Saya jadi dokter pertama yang jadi spesialis di bidang apa pun di Indonesia dan membuka jalan waktu itu. Semoga dengan konser kali ini, kami juga bisa membuka jalan untuk Yayasan WR Soepratman dan ahli waris agar masyarakat Indonesia lebih kenal dengan pahlawan yang terlupakan,” tegas dia. Upaya pelurusan sejarah

Tidak hanya menghadirkan lantunan lagu-lagu karya WR Soepratman nan patriotik, perhelatan konser perdana Antea Putri Turk kali ini juga menjadi momentum tepat untuk meluruskan kembali sejarah yang bertalian dengan riwayat kehidupan sang pahlawan nasional.

“Sebanyak 90 persen informasi yang beredar di internet mengenai beliau adalah salah. Tempat lahirnya salah, sudah kami betulkan. Selain itu di Jakarta, tidak ada satu pun nama jalan, taman, atau patung WR Soepratman. Ini sedih sekali, kami bilang beliau adalah pahlawan yang terlupakan,” beber Dario Turk.

Pihak Yayasan WR Soepratman telah melakukan riset bersama beberapa pihak dan memiliki catatan hidup komposer itu yang ternyata lahir di Jatinegara Jakarta Timur pada 9 Maret 1903. Adapun salah satu informasi yang beredar luas selama ini mencatat bahwa WR Soepratman lahir pada 19 Maret 1903 di Purworejo, Jawa Tengah.

Dario Turk melanjutkan bahwa sebagai sosok yang paling dekat dengan masyarakat, sudah sepantasnya WR Soepratman sebagai penulis dan pencipta lagu kebangsaan mendapatkan pengakuan yang semestinya dari semua pihak.

“Ketika lagu ‘Indonesia Raya’ dinyanyikan, semua rakyat berdiri dan lagu itu menumbuhkan rasa kebangsaan yang begitu besar,” tegas Dario. Apa yang menjadi harapan Dario Turk dan Yayasan WR Soepratman, juga diamini oleh seniman legendaris kebanggaan Tanah Air Titiek Puspa. Titiek yang hadir dalam gelaran musik tersebut mengungkapkan penghormatan tertingginya terhadap sosok WR Soepratman yang berjuang pada zaman ketika proses membuat lagu dianggap sebagai hal sepele.

"Pada masa itu, orang yang bisa bikin lagu itu kalau nggak orang gila, keturunan dewa, atau temannya setan. Jadi, saya kalau mendengar lagu 'Indonesia Raya', badan dan semua darah saya seperti mendidih. Begitulah, apa yang beliau tulis dapat memengaruhi jiwa raga lahir batin saya," tutur Titiek.

Seniman berusia 86 tahun itu bahkan mengaku bahwa dirinya sempat merasakan “kehadiran” sosok sang komposer ketika kali pertama menikmati sajian konser perdana peluncuran karya lagu WR Soepratman.

"Hormat saya kepada terhormat, terhebat, termulia Bapak Wage Rudolf Soepratman. Saya tadi seperti 'dibelai' beliau karena saya bicara dalam hati bahwa saya bangga kepada dia. Saya merasa seperti dipeluk. Bapak 'datang', saya bangga sekali, dan itu mungkin perasaan saya sendiri," ujar Titiek Puspa dengan suara tertahan.

Perempuan penyanyi bernama asli Sudarwati itu berharap langkah yang telah dirintis oleh Yayasan WR Soepratman untuk menggali kembali sekaligus mendekatkan karya-karya sang legenda kepada masyarakat akan mendapatkan hasil nan sepadan.

"Terima kasih kepada seluruh keluarga yang telah mau berbuat sesuatu sehingga lagu-lagu yang terserak dapat dikumpulkan lagi. Mudah-mudahan itu semua nanti bisa menjadi lagu kebanggaan kita semua. Tuhan selalu memberkahi, sembahlah Yang di Atas, peluklah yang di bawah," tutup Titiek. Ketika lampu demi lampu di dalam balairung kembali dinyalakan usai dua jam pertunjukan, suasana penuh haru berbalut kebanggaan mewarnai beragam bentuk percakapan. Beberapa kali terlihat sosok Titiek Puspa, Addie MS, Sandiaga Uno, dan keluarga ahli waris WR Soepratman saling berpelukan dan melepaskan senyum di antara desak para audiens yang menyemut di dekat panggung.

Antea Putri Turk yang telah berganti gaya berpakaian dengan mengenakan gaun terusan berwarna hitam dan menyambut setiap uluran tangan dari penonton, juga tak kuasa menahan rasa haru, bangga, sekaligus lega karena dirinya bisa memberikan penampilan terbaik pada malam itu.

Sebuah penampilan yang menurut Antea mungkin tidak akan pernah terlupakan sepanjang kehidupan dan membuatnya menjadi amat bangga memeluk nama besar WR Soepratman.

Pun mungkin demikian halnya dengan sang maestro yang tengah tersenyum di alam keabadian.

















 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengumandangkan nada WR Soepratman, menghunjamkan jiwa kebangsaan