Pahlawan dari Majalengka
Kisah patriotisme Abdul Chalim tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan daerah Leuwimunding di Majalengka, Jawa Barat, yang menjadi tanah kelahirannya. Apalagi tokoh ulama ini menghabiskan masa kecilnya di daerah tersebut.
Ia merupakan putra dari pasangan Kedung Wangsagama dan Satimah. Ia lahir di Leuwimunding pada 2 Juji 1898. Ayahnya merupakan seorang kepala desa atau kuwu yang disegani saat itu.
“Dia adalah anak kuwu dan menariknya, dengan latar belakangnya itu, K.H. Abudl Chalim menjadi sosok yang sangat religius,” kata Tendi.
Sejak masih muda, Abdul Chalim begitu mahir berbahasa Arab dan Belanda karena ia telah menamatkan pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Cirebon.
Meski sudah dibekali ilmu agama sedari kecil hasil didikan orang tuanya, Abdul Chalim tidak berpuas diri dan memutuskan menimba ilmu di sejumlah pesantren terkemuka saat itu yakni Pondok Pesantren Banada, Pondok Pesantren al-Fattah Trajaya, dan Pondok Pesantren Nurul Huda al Ma’arif Pajajar.
Kemudian, pada 1914 saat usianya menginjak 16 tahun, Abdul Chalim melanjutkan pendidikan ke Mekkah. Di sana ia berkesempatan menjejaki pengalaman baru, bertemu dan menimba ilmu dari para ulama besar.
Selama di Mekkah, ia aktif membangun jejaring dan berkawan dekat dengan ulama asal Indonesia. Salah seorang sahabat dekatnya adalah K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
Abdul Chalim membangun pertemanan dan tali silaturahmi yang begitu erat dengan para ulama.
Dari pertemuan itu, ia kemudian bergabung dengan Sarekat Islam (SI) Hijaz dan menjadi anggota termuda sekaligus pengurus dalam organisasi tersebut.
Melalui SI Hijaz, Abdul Chalim terlibat aktif menentang kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda yang tidak sesuai dengan syariat Islam dan menyengsarakan rakyat. Bahkan penentangan itu dilakukan secara konstitusional.
Dalam sejumlah literatur diriwayatkan bahwa selama di Mekkah, Abdul Chalim telah memiliki pandangan moderat, visioner, dan namun sering mengkritisi kebijakan penjajah yang merugikan rakyat.
Pada 1917, Abdul Chalim kemudian pulang ke Majalengka untuk membantu orang tuanya meringankan penderitaan warga pribumi atas kekejaman pemerintah kolonial.
Selanjutnya pada tahun 1922, Abdul Chalim berkelana dari Majalengka ke Surabaya dengan berjalan kaki selama 14 hari untuk bertemu rekan seperjuangannya.
Ketika di Surabaya, ia lantas berjumpa kembali dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Keduanya kemudian membentuk Komite Hijaz guna mengorganisasikan ulama-ulama di Jawa dan Madura demi mencapai kemerdekaan Indonesia.
Tokoh dari Majalengka itu langsung menulis surat undangan agar para ulama tersebut menyempatkan hadir dalam pertemuan Komite Hijaz pada 31 Januari 1926. Hasilnya, 65 ulama hadir dalam pertemuan tersebut dan bersepakat dengan tujuan yang sama yakni mencapai kemerdekaan Indonesia.
Pertemuan itu menjadi cikal bakal berdirinya Pengurus Besar NU dengan K.H. Hasyim Asyari sebagai Rais Aam dan Abdul Wahab Hasbullah sebagai Katib awal, dan Abdul Chalim didaulat menjadi Katib Tsani (sekretaris kedua).
Semasa hidupnya, Abdul Chalim selalu mengabarkan perkembangan dan situasi terbaru dalam perlawanannya terhadap penjajah kepada masyarakat Majalengka. Informasi itu disalurkan lewat koran Soeara Nahdatoel Oelama.
Seiring berjalannya waktu, tokoh tersebut menyumbangkan gagasan, tenaga, dan pemikiran untuk melepaskan belenggu umat dari cengkeraman penjajah.
Berkat kiprahnya tersebut, ia dikenal sebagai Muharrikul Afkar yang bermakna penggerak dan pemantik semangat perjuangan.
Selama bertahun-tahun mengabdikan diri memperjuangkan kemerdekaan republik, Abdul Chalim akhirnya tutup usia di Leuwimunding, Majalengka, pada 12 Juni 1972.