Pengamat sebut komunikasi ke desa jadi kunci penanganan karhutla di Sumsel
Palembang (ANTARA) - Pengamat komunikasi lingkungan dari Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Dr. Yenrizal menyebut komunikasi ke desa-desa rawan menjadi kunci penanganan kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan.
"Komunikasi dan pemberdayaan masyarakat desa jauh lebih besar pengaruhnya dalam penanganan karhutla dibandingkan mempersiapkan diri untuk memadamkan api," kata Dr. Yenrizal di Palembang, Kamis.
Menurutnya upaya komunikasi dan pemberdayaan desa tersebut sudah dilakukan di Sumsel, namun belum optimal karena belum mengakomodasi kebutuhan masyarakat sepenuhnya sehingga perilaku membakar lahan masih terjadi.
Ia mengungkapkan perilaku membakar lahan telah menjadi kebiasaan dan kebutuhan masyarakat di desa-desa sekitar hutan maupun lahan gambut, perilaku tersebut sulit dihentikan meski sudah ada orang-orang yang ditangkap aparat kepolisian.
Sebab larangan pembakaran lahan dari pemerintah kurang diimbangi dengan solusi yang efektif dan maksimal agar masyarakat tidak membakar lahan, seperti kurangnya penyediaan alat untuk membuka lahan maupun pemberdayaan lain yang benar-benar bisa menjadi alternatif pendapatan ekonomi.
Selain itu komunikasi yang terjalin antara pemerintah dan masyarakat desa-desa rawan lebih banyak pada pengetahuan terkait upaya deteksi dini titik api.
"Akhirnya jika kebakaran lahan sudah meluas seperti 2019, jadi kadung susah menanggulanginya," kata Dr. Yenrizal.
Ia mendorong para pemangku kepentingan di Sumsel melakukan inovasi penanganan karhutla dengan pola strutkur yang jelas dan komprehensif dalam penguatan pencegahan karhutla, desa-desa hendaknya diposisikan sebagai kunci utama.
Sebab inovasi penanganan karhutla yang kerap dimunculkan lebih banyak terkait teknis penanggulangan api, misalnya teknologi digital pendeteksi api dan pembangunan sumur bor.
"Karhutla terjadi karena aktivitas manusia, artinya dari awal-awal harusnya sudah bisa dicegah," ujar Dr. Yenrizal.
"Komunikasi dan pemberdayaan masyarakat desa jauh lebih besar pengaruhnya dalam penanganan karhutla dibandingkan mempersiapkan diri untuk memadamkan api," kata Dr. Yenrizal di Palembang, Kamis.
Menurutnya upaya komunikasi dan pemberdayaan desa tersebut sudah dilakukan di Sumsel, namun belum optimal karena belum mengakomodasi kebutuhan masyarakat sepenuhnya sehingga perilaku membakar lahan masih terjadi.
Ia mengungkapkan perilaku membakar lahan telah menjadi kebiasaan dan kebutuhan masyarakat di desa-desa sekitar hutan maupun lahan gambut, perilaku tersebut sulit dihentikan meski sudah ada orang-orang yang ditangkap aparat kepolisian.
Sebab larangan pembakaran lahan dari pemerintah kurang diimbangi dengan solusi yang efektif dan maksimal agar masyarakat tidak membakar lahan, seperti kurangnya penyediaan alat untuk membuka lahan maupun pemberdayaan lain yang benar-benar bisa menjadi alternatif pendapatan ekonomi.
Selain itu komunikasi yang terjalin antara pemerintah dan masyarakat desa-desa rawan lebih banyak pada pengetahuan terkait upaya deteksi dini titik api.
"Akhirnya jika kebakaran lahan sudah meluas seperti 2019, jadi kadung susah menanggulanginya," kata Dr. Yenrizal.
Ia mendorong para pemangku kepentingan di Sumsel melakukan inovasi penanganan karhutla dengan pola strutkur yang jelas dan komprehensif dalam penguatan pencegahan karhutla, desa-desa hendaknya diposisikan sebagai kunci utama.
Sebab inovasi penanganan karhutla yang kerap dimunculkan lebih banyak terkait teknis penanggulangan api, misalnya teknologi digital pendeteksi api dan pembangunan sumur bor.
"Karhutla terjadi karena aktivitas manusia, artinya dari awal-awal harusnya sudah bisa dicegah," ujar Dr. Yenrizal.