Nelayan Indonesia diimbau tidak melaut di perairan berbahaya Malaysia
Jakarta (ANTARA) -
Nelayan Indonesia yang bekerja di kapal-kapal Malaysia diimbau untuk tidak melaut di perairan yang berbahaya, setelah terulangnya penculikan WNI oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Sabah, Malaysia.
“Memang (penculikan) itu terjadi di perairan yang luas, terbuka, dan berisiko,” kata Ketua DPR RI Puan Maharani saat mengunjungi Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Selasa.
Menurut Puan, para nelayan yang bekerja di Malaysia sebenarnya sudah bisa memetakan wilayah mana yang tidak aman, namun harus tetap menunaikan pekerjaan mereka untuk menangkap ikan di perairan tersebut.
Wilayah yang dimaksud salah satunya adalah perairan Tambisan di Lahad Datu, Sabah, Malaysia, di mana penculikan terhadap anak buah kapal (ABK) WNI kembali terjadi pada 16 Januari lalu.
Menyikapi tindak kejahatan yang terus-menerus terjadi sejak 2015 ini, DPR telah meminta pemerintah melakukan berbagai upaya yang diperlukan untuk menyelamatkan para WNI, termasuk diplomasi dengan Malaysia.
“Tentu saja DPR berharap hal ini segera selesai dan kita akan melakukan langkah-langkah diplomasi terbaik untuk segera membebaskan masyarakat Indonesia yang disandera,” kata Puan.
Kasus hilangnya kapal ikan milik Malaysia yang diawaki WNI di perairan Tambisan, Lahad Datu, Sabah pada 16 Januari 2020 pukul 20.00 waktu setempat terkonfirmasi sebagai kasus penculikan oleh kelompok Abu Sayyaf.
Konfirmasi didapat ketika kapal ikan dengan nomor registrasi SSK 00543/F terlihat masuk kembali ke perairan Tambisan, Lahad Datu, Sabah dari arah Filipina pada 17 Januari 2020 pukul 21.10 waktu setempat.
Di dalam kapal terdapat tiga ABK WNI yang dilepaskan penculik dan lima ABK WNI lainnya dibawa kelompok penculik.
Ketiga WNI yang kembali bersama kapalnya adalah Abdul Latif (37), Daeng Akbal (20), dan Pian bin Janiru (36), sedangkan lima rekannya yang hingga kini disandera oleh kelompok Abu Sayyaf adalah Arsyad bin Dahlan (42) selaku juragan, Arizal Kastamiran (29), La Baa (32), Riswanto bin Hayono (27), dan Edi bin Lawalopo (53).
Pemerintah Indonesia sangat menyesalkan berulangnya kasus penculikan awak kapal WNI di kapal ikan Malaysia di wilayah perairan Sabah.
Terlebih, penculikan ini terjadi hanya berselang sehari setelah seorang WNI bernama Muhammad Farhan dibebaskan oleh kelompok Abu Sayyaf. Farhan merupakan salah satu dari tiga WNI yang diculik di perairan Tambisan pada 23 September 2019.
Sebelumnya, dua sandera lain yakni Maharudin dan Samiun telah dibebaskan pada 22 Desember 2019 dan diserahkan langsung oleh Menlu RI kepada keluarga pada 26 Desember 2019.
Selanjutnya, pemerintah Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah Filipina akan berupaya mencari dan membebaskan kelima ABK WNI tersebut.
Untuk mencegah terulangnya kasus penculikan, pemerintah melalui Perwakilan RI di Kota Kinabalu dan Tawau mengimbau awak kapal WNI untuk tidak melaut karena situasi keamanan di perairan Sabah yang belum terjamin.
Pemerintah juga mengimbau kepada calon pekerja migran Indonesia untuk berangkat ke luar negeri sesuai prosedur dan untuk saat ini tidak berangkat bekerja sebagai awak kapal yang beroperasi di perairan Sabah.
“Memang (penculikan) itu terjadi di perairan yang luas, terbuka, dan berisiko,” kata Ketua DPR RI Puan Maharani saat mengunjungi Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Selasa.
Menurut Puan, para nelayan yang bekerja di Malaysia sebenarnya sudah bisa memetakan wilayah mana yang tidak aman, namun harus tetap menunaikan pekerjaan mereka untuk menangkap ikan di perairan tersebut.
Wilayah yang dimaksud salah satunya adalah perairan Tambisan di Lahad Datu, Sabah, Malaysia, di mana penculikan terhadap anak buah kapal (ABK) WNI kembali terjadi pada 16 Januari lalu.
Menyikapi tindak kejahatan yang terus-menerus terjadi sejak 2015 ini, DPR telah meminta pemerintah melakukan berbagai upaya yang diperlukan untuk menyelamatkan para WNI, termasuk diplomasi dengan Malaysia.
“Tentu saja DPR berharap hal ini segera selesai dan kita akan melakukan langkah-langkah diplomasi terbaik untuk segera membebaskan masyarakat Indonesia yang disandera,” kata Puan.
Kasus hilangnya kapal ikan milik Malaysia yang diawaki WNI di perairan Tambisan, Lahad Datu, Sabah pada 16 Januari 2020 pukul 20.00 waktu setempat terkonfirmasi sebagai kasus penculikan oleh kelompok Abu Sayyaf.
Konfirmasi didapat ketika kapal ikan dengan nomor registrasi SSK 00543/F terlihat masuk kembali ke perairan Tambisan, Lahad Datu, Sabah dari arah Filipina pada 17 Januari 2020 pukul 21.10 waktu setempat.
Di dalam kapal terdapat tiga ABK WNI yang dilepaskan penculik dan lima ABK WNI lainnya dibawa kelompok penculik.
Ketiga WNI yang kembali bersama kapalnya adalah Abdul Latif (37), Daeng Akbal (20), dan Pian bin Janiru (36), sedangkan lima rekannya yang hingga kini disandera oleh kelompok Abu Sayyaf adalah Arsyad bin Dahlan (42) selaku juragan, Arizal Kastamiran (29), La Baa (32), Riswanto bin Hayono (27), dan Edi bin Lawalopo (53).
Pemerintah Indonesia sangat menyesalkan berulangnya kasus penculikan awak kapal WNI di kapal ikan Malaysia di wilayah perairan Sabah.
Terlebih, penculikan ini terjadi hanya berselang sehari setelah seorang WNI bernama Muhammad Farhan dibebaskan oleh kelompok Abu Sayyaf. Farhan merupakan salah satu dari tiga WNI yang diculik di perairan Tambisan pada 23 September 2019.
Sebelumnya, dua sandera lain yakni Maharudin dan Samiun telah dibebaskan pada 22 Desember 2019 dan diserahkan langsung oleh Menlu RI kepada keluarga pada 26 Desember 2019.
Selanjutnya, pemerintah Indonesia berkoordinasi dengan pemerintah Filipina akan berupaya mencari dan membebaskan kelima ABK WNI tersebut.
Untuk mencegah terulangnya kasus penculikan, pemerintah melalui Perwakilan RI di Kota Kinabalu dan Tawau mengimbau awak kapal WNI untuk tidak melaut karena situasi keamanan di perairan Sabah yang belum terjamin.
Pemerintah juga mengimbau kepada calon pekerja migran Indonesia untuk berangkat ke luar negeri sesuai prosedur dan untuk saat ini tidak berangkat bekerja sebagai awak kapal yang beroperasi di perairan Sabah.