Pasal 218 untuk melindungi kehormatan Kepala Negara dari hinaan WNA

id Penghinaan,RKUHP,Pasal 218,taufiqulhadi, anggota dpr,antaranews.com,089503924813,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, ant

Pasal 218 untuk melindungi kehormatan Kepala Negara  dari hinaan WNA

Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Taufiqulhadi saat ditemui di gedung Parlemen Jakarta, Senin (23/9/2019) (ANTARA/ Abdu Faisal)

Jakarta (ANTARA) - Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Teuku Taufiqulhadi mengatakan pasal 218 RUU tersebut dibuat untuk melindungi kehormatan kepala negara dari hinaan warga negara asing (WNA)

"Itu untuk melindungi Kepala Negara kita yang mungkin dihina. Siapa yang menghina? Kalau datang wartawan asing ke Indonesia lantas dia menghina Kepala Negara kita. Atau datang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing ke Indonesia yang menghina Kepala Negara kita," ujar Taufiqulhadi di Jakarta, Senin.

Selain untuk melindungi Kepala Negara sendiri, RKUHP juga penting dibuat untuk melindungi kehormatan Kepala Negara lain oleh pihak asing yang berkunjung ke wilayah teritorial Indonesia.

"RKUHP juga untuk mempidana wartawan asing yang datang ke Indonesia dan menghina Kepala Negara Asing di tanah dan teritorial Indonesia," ujar dia.

Ia membantah jika dikatakan pasal tersebut dibuat untuk mencederai demokrasi sehingga membuat situasi kondusif pascareformasi menjadi tidak demokratis lagi.

"Pasal itu kami buat dalam konteks jangan sampai Kepala Negara dihina orang-orang yang tidak kita kehendaki," ujar Anggota Dewan Pakar Partai Nasional Demokrat (NasDem) itu.

Dalam Pasal 218 RKUHP dijelaskan bahwa setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wapres dipidana dengan pidana paling lama tiga tahun, enam bulan, atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Terminologi penghinaan dikatakan tidak jelas karena dapat ditafsirkan sembarang. Namun Taufiqulhadi mengatakan jika pascareformasi ada hak mengajukan kritik, maka perlu diatur juga tentang kewajibannya sehingga tidak menjurus kepada kritik yang bersifat personal dan tidak faktual.

"Kritik silakan, tapi jangan menghina. Kalau menghina itu personal dan bukan faktual," ujar Taufiqulhadi.

Ia mencontohkan bila menghina itu seperti menyamakan muka orang tersebut dengan muka binatang, itu dikatakan menghina. Tapi kalau mengatakan pemerintah gagal membangun Indonesia, itu adalah mengkritik.

Menurut Taufiqulhadi, kritik adalah sesuatu yang dibolehkan dan harus dihidupkan dalam konteks berbangsa dan bernegara. Namun jika menghina personal, itu yang ingin dilarang dalam Pasal RKUHP itu.